Jalanan Jakarta di Sabtu malam begitu padat. Hiruk pikuknya terasa begitu berat untuk orang-orang yang pulang dari kerja dan ingin segera istirahat. Namun, bagi anak muda, ini adalah kesempatan untuk bisa main hingga malam. Kesempatan bisa bangun siang di esok harinya karena libur akhir pekan. Begitu pun dengan sekelompok remaja laki-laki yang berada di sebuah mobil konvertibel Maserati GranCabrio, menyanyi dengan suara sumbang dengan volume penuh, sepenuh percaya diri mereka. Padahal, ketika berhenti di lampu merah, tak sedikit orang yang memprotes kebisingan mereka.
"Jadi ke kafe yang lo bilang waktu itu nggak?" tanya salah seorang dari mereka yang sedang memegang kemudi.
"Kafe? Bukannya kita mau ke bar?" tanya seorang laki-laki yang duduk di belakang.
Sambil memindahkan angka gigi, ia berkata, "Gue nggak mau ngurusin kalian pulang dalam keadaan mabuk semua!"
"Ar, gue heran deh ... kenapa lo belum mau nyentuh minuman? Lo udah cukup besar, kok."
Laki-laki yang sibuk dengan kemudi mobil menghela napas panjang, seakan lelah menjelaskan berulang kali pada teman-temannya. "Bukan belum mau, tapi emang gue nggak mau, njing. Ahh ... jadi berkata kasar kan gue!" Ketiga anak lainnya terbahak mendengar umpatan itu. Kemudian ia menimpali, "Udah lah, ke kafe aja. Yang direkomendasikan Galen waktu itu."
"Kuy lah, Ar. Di sana rekommended banget menunya. Tempatnya juga nyaman, dan yang paling penting banyak cewek cantik nongkrong di sana. Sekalian lah cuci mata," terang Galen.
"Dasar lo!" Seru dua anak di belakang yang langsung memukul ringan kepala Galen menggunakan botol plastik kosong.
"Kasih tau arahnya, gue belum pernah ke sana!" perintah si pengemudi yang mengenakan hoodie putih bertuliskan huruf hanzi di dada kanan.
"Siap, Bos!"
Mobil itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membunyikan klakson hingga membabi buta agar kendaraan di depan menyingkir. Ia pikir, melakukan hal seperti ini lebih menyenangkan daripada balapan. Bahkan ketiga temannya kadang sudah lelah menasihati. Mereka masih ingin hidup, setidaknya kalau mati, jangan sampai diakibatkan oleh kecelakaan. Miris sekali.
Beberapa menit berlalu, roda mobil bergesekan dengan aspal dan berbelok ke area parkir. Para gadis yang berada di sana bersorak ramai melihat mewahnya mobil dan ketampanan penumpangnya. Tanpa diberi peringatan pun, mereka menyingkir memberi jalan. Keempatnya turun dari mobil, beberapa gadis yang berani mulai mendekat, tapi berhasil mereka tepis hingga masuk ke kafe, memilih duduk di pojok tapi menjangkau seluruh pemandangan kafe.
Lampu-lampu kecil menghiasi dinding bertema vintage, terdapat tulisan 'Archernar Cafe' dari lampu led yang menambah kesan estetik. Lampu utama juga disetel tidak terlalu terang. Pemikiran pemilik kafe ini boleh juga, memberi ruang untuk anak muda pacaran di malam Minggu.
"Pesenin Frappuccino, Len!" perintah laki-laki hoodie putih pada temannya.
Setelah memberi anggukan, Galen bangkit dan memesan semua permintaan temannya. Si hoodie putih melihat sekeliling, seorang gadis pelayan mengantar minuman ke sebuah meja yang tak jauh darinya, ia terlihat sedang mengalami masalah. Pengunjung yang tak tahu sopan santun itu mulai menggoda si gadis, berdiri dan menyentuh pipi. Gadis itu berusaha melawan dan pergi dari sana, tetapi ditarik oleh si laki-laki.
"Liatin apa sih, Ar?" tanya Galen setelah kembali dari memesan minuman. Namun, yang ditanya seakan tak menyadari keberadaannya.
"Si Galen mah gak paham, si bos lagi cari cewek cantik lah. Lo juga kalo pengen boleh tuh samperin cewek-cewek yang gak bawa pasangan," tukas temannya yang lain.
Semakin dia diam, semakin memuncak emosinya. Suhu tubuh mulai meningkat di balik hoodie putih tebal. Ia mengurungkan niat ketika hendak bangkit dan membantu karena melihat seorang gadis cantik yang menghampiri meja itu. Dari pakaiannya tak terlihat sebagai pelayan, tetapi di tangannya membawa nampan berisi frappuccino. Mungkin itu miliknya. Akan tetapi, setelah percekcokan antara gadis itu dengan si pelaku, frappuccino itu menjadi korban. Cairan itu berpindah mengguyur wajah pelaku dengan tiba-tiba.
"Anda bisa meninggalkan kafe sekarang, tempat ini tidak menampung orang-orang tidak sopan seperti Anda," ucap gadis itu.
"Siapa pemilik kafe ini?" teriak pria itu. "Para pelayan di sini tidak punya etika dan tidak bisa melayani dengan baik."
Wajahnya semakin memerah, gadis itu menimpali, "Bagus sekali, Anda berbicara tentang sopan santun. Jika anda masih punya sopan santun dan rasa malu, seharusnya sudah pergi dari tempat ini."
Pria itu menggebrak meja, meski dipenuhi amarah, tetap saja gadis itu merasa terkejut dengan gebrakan yang keras itu. Namun, aksinya berhasil, pria itu melangkah keluar dari kafe dan diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Ia bernapas lega, terlebih lagi gadis pelayan memegang tangannya kuat karena masih ketakutan.
Saat ini, laki-laki hoodie putih sedang dipenuhi rasa kagum. Ia berdecak sembari bangkit dari duduk, "Maaf, itu frappuccino saya?"
Dengan cepat gadis itu menjawab, "Akan saya ganti sebentar lagi." Kemudian pergi bersama gadis pelayan.
Tangan berototnya meraba belakang kepala untuk meraih tudung hoodie, melempar ke kepala, dan duduk santai bersama teman lainnya. Di balik tudung itu, manik matanya masih menelisik jauh mengekori gadis pahlawan. Di dekat dapur, tampak seorang pria yang lebih dewasa darinya menghadang gadis itu. Berbicara sesuatu yang tak dapat di dengar dari tempatnya duduk, setelah itu sambil tersenyum mengacak rambut si gadis meski mendapat penolakan dari pemilik rambut.
"Pacar?" gumamnya.
"Apa? Pacar? Udah punya pacar, Ar?"
"Nggak tahu," balasnya.
"Elo maksudnya. Ah udah lah, gak nyambung ni anak."
Tanpa menggubris ucapan temannya, ia memperbaiki posisi duduk dan mengecek pesan-pesan yang belum dibaca di ponsel. Gadis itu datang lagi dengan empat gelas di atas nampan. Masih dengan pakaian yang sama---bukan seragam kafe---hanya ditambah dengan celemek pinggang warna hitam. Rambut hitam lurusnya jatuh ketika tubuh ramping itu membungkuk untuk meletakkan minuman. Ia masih bisa melihat wajah si gadis dari sela rambut yang dipakaikan jepit berbentuk bunga daisy.
Mata yang indah, pipi tembam, bibir tipis, dan hidung yang mungil. Sepertinya proporsi wajah ini akan tersimpan dalam memori jangka panjangnya. Sebenernya dia ini siapa? Tidak terlihat seperti pelayan lainnya, tapi ikut melayani pengunjung, batinnya.
Diam-diam, Galen senyum sendiri ketika melihat gadis yang sibuk dengan pekerjaannya. Ia bersuara, "Saya Galen, mbak siapa namanya?"
Terkejut dengan suara temannya yang lancang, ia menarik lepas tudung hoodie dan mendelik pada Galen. Tak puas, kaki temannya pun ia injak. Matanya beralih pada si gadis dan berkata, "Maaf, temen saya memang krisis akhlak." Ucapannya diakhiri terima kasih ketika gadis itu pergi setelah memberikan anggukan padanya.
"By the way, lo nggak perlu munafik, Ar. Akui aja pelayan tadi cantik. Iya kan? Lo bisa dapetin dia. Lagi pula lo udah kaya, nggak masalah dia miskin atau enggak."
"Jaga ucapan lo, gue kaya dari duit bokap. Kerjaan gue cuma ngabisin."
"Kira-kira, susah nggak ya dapetin cewek kayak gitu? Dia punya nyali besar buat lawan pria dewasa."
"Berhenti ngomongin dia atau bayar sendiri minumannya."
"Iya, iya, bos."
22 September 2021
@pirdaacindy
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Teen Fiction[Update setiap hari Sabtu] Alsabtu Crystalia ... seorang gadis yang membenci hari Sabtu, apa pun yang berhubungan dengan hari Sabtu. Melupakan tugas sekolah, galau-galauan ala jomlo, maupum kencan malam Minggu bersama pacar. Dia membenci semua itu...