Sabtu - 13 - Kita Bersaudara

65 9 1
                                    

Duduk di mobil ketika kakinya lelah setelah bersenang-senang adalah hal baik yang ia dapatkan sore ini. Banyak makanan jalanan yang Alsa cicipi satu persatu hingga sekarang perutnya sangat kenyang. Elvino memang sahabat yang paling memahaminya, ia tidak ingin jalan-jalan di tempat mewah untuk belanja baju, barang bermerk, atau kosmetik. Kadang ia juga suka, tetapi membeli makan adalah hal yang paling ia suka di atas apapun. Alsa melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya.

"Pak, jangan lupa anter Alsa ke rumahnya dulu."

Alsa tersenyum, nyaris tertawa.

"Kenapa ketawa?"

"Ya biar nggak lupa nurunin lo. Atau lo pengen gue bawa ke rumah aja?"

"Nggak lah, gue pengen rebahan di kamar."

"Rebahan terus, tadi habis makan banyak. Gerak dikit dong!"

"Iya-iya. Siap, Bos," katanya sambil tertawa.

Sejak Alsa kenal Elvino, laki-laki itu selalu diantar dan dijemput oleh sopir pribadi. Ia tidak tahu apa alasannya dengan jelas, akan tetapi keterangan dari sahabatnya hanyalah karena kekhawatiran orang tua mereka. Alsa saja terkejut mendengarnya, cuma masalah sepele, batinnya waktu itu. Ternyata, Elvino pernah hampir kehilangan nyawanya karena menaiki sepeda ketika pulang sekolah dasar. Dari sana, ia mulai memahami pelan-pelan dan menerima sabahatnya yang tidak bisa lepas dari mobil dan sopir.

Alsa memandang ke luar jendela, pepohonan seperti berjalan melewati mereka. Hingga akhirnya pohon-pohon itu berhenti, bukan ... tapi mobilnya yang berhenti tepat di depan rumah. Ia membuka pintu, lalu keluar dan menutup pintu lagi. Terlihat Elvino menggeser duduknya di tempat ia duduk tadi, kemudian membuka kaca jendela.

"Masuk dulu, yuk?" ajak sang gadis pada laki-laki yang menyembulkan kepalanya di jendela.

Laki-laki itu menggeleng sambil melemparkan senyuman. "Nggak usah, udah mau gelap. Makasih, Alsa, kita udah lama nggak habisin waktu muter-muter di Jakarta."

"Haha iya, Vin. Es krimnya tadi enak loh. Kapan-kapan kita beli lagi ya!" pinta Alsa dengan wajah berseri-seri.

"Boleh. Oh iya, gue ada sesuatu buat lo." Elvino memindahkan tas punggungnya ke depan dan mulai menggeledah, kemudian dia mengeluarkan sebuah batangan cokelat dan menyodorkannya pada Alsa.

"Wah, cokelat." Alsa langsung menyambut dengan gembira. "Makasih, Vin, lo itu sahabat terbaik gue. Gue sayang banget sama lo," ucap gadis itu seraya memeluk cokelat yang baru didapatnya.

"Gue juga sayang sama lo. makanya ngasih cokelat," ucapnya, cuma ... rasa sayang gue selalu disalahartikan sebagai persahabatan, batin Elvino pahit. "Oke, gue balik dulu ya."

"Hati-hati di jalan ya."

Elvino mengangguk dengan senyuman yang masih terukir manis di bibirnya. Lesung pipi tercetak sempurna di kedua belah pipi pemuda itu, menambah kesan manis yang tak dapat dimungkiri siapapun. Dia terlalu banyak berharap pada persahabatan mereka, terlalu ingin mengubah ikatan itu menjadi lebih dekat. Namun, apa boleh buat? Cintanya bertepuk sebelah tangan.

Mobil putih itu sudah melesat, menyusuri jalan perumahan hingga jalan raya. Angin sore menerpa wajahnya dari jendela yang tak ditutup. Rasa sesak yang sedari tadi singgah mulai berkurang setelah beberapa kali embusan napas lolos dari mulutnya.

Alsa memasuki rumah dengan ekspresi datar. Hubungannya dengan Bian masih mendingin, tidak saling sapa semenjak cekcok kemarin. Sebetulnya, dia tidak ingin seperti ini. Namun, lagi-lagi gengsi terlalu tinggi. Alsa tidak mau meminta maaf pada Abangnya. Bahkan ketika keduanya berpapasan saja tidak ada saling sapa. Gadis itu langsung saja menuju kamar untuk membersihkan diri.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang