Sabtu - 15 - Ruang Kerja Papa

76 10 1
                                    

Roda motor yang dikendarai Aryan berdecit ketika rem ditarik. Kendaraan ini berhenti tepat di sebuah rumah bercat krem di mana pagarnya terbuka sedikit. Seorang gadis yang duduk di jok belakang mulai turun dan menuju gerbang untuk membuka, mempersilakan Aryan membawa masuk motornya.

"Masuk dulu, yuk! Aku pengen kasih kabar gembira ini ke Mama, berdua sama kamu," ucap Alsa yang disambut senyum percaya diri oleh Aryan. "Sebagai tim," lanjutnya, membuat senyum pemuda itu sirna seketika. Namun, dia tetap mengikuti instruksi dari Alsa untuk segera memasuki pekarangan rumah.

Setelah memarkirkan motor dan melepas helm, Alsa mengajaknya segera masuk. Mereka berjalan beriringan menuju pintu dan mengetuknya. Tak ada jawaban dari dalam, Alsa mendorong kuat, tetapi pintu itu tetap bergeming. "Apa mama sama Bang Bian belum pulang ya?"

"Ya mana gue tau, Sa. Kan Mama lo belum resmi jadi ibu mertua gue."

"Ih, apaan sih lo, Ar? Nggak jelas," tukas Alsa sembari mengeluarkan ponsel dari tas, mencari daftar kontak dan menghubungi Mama.

Aryan hanya diam menunggu, dia tidak bermaksud menguping pembicaraan tetapi Alsa berbicara cukup keras dan menyimpulkan bahwa tidak ada orang di rumah. Disandarkan punggungnya ke dinding dan menyilangkan kedua tangan di dada.

"Tapi Mama nggak kunci pagar loh, gimana sih? Oh, pasti Bang Bian yang lupa nih," omel Alsa dengan wajah kesalnya, hal itu membuat Aryan merasa gemas dan ingin mencubit pipi gadis di depannya, atau memeluknya dengan erat mungkin. "Iya, Ma. Alsa lupa nggak bawa kunci tadi." Gadis itu menunggu jawaban dari seberang, lalu berucap, "Oh, kuncinya ada di bawah pot. Oke, Ma, Alsa cari dulu, bye."

Setelah menemukan kunci yang dicari, dimasukkannya ke lubang kunci dan diputar hingga berbunyi 'klik', barulah Alsa buka lebar pintu tersebut untuk memberi akses masuk.

"Nggak ada orang nih? Berarti boleh pulang dong?" tanya Aryan, sebetulnya di dalam hati dia berat mengatakan hal ini, hanya saja dia ingin melihat apakah Alsa masih secuek dugaannya.

"Oh." Gadis itu terlihat kecewa, tetapi mengangguk pasrah. Tak beda dengan Aryan, ternyata Alsa masih mempertahankan sifat dingin dan cueknya. Baru saja Aryan melangkah, suara Alsa menginterupsi. "Boleh nggak tinggal sebentar dulu, gue mau cerita sesuatu sama lo."

"Sesuatu?" Mata Aryan terbelalak. Pasti Alsa sudah jatuh cinta sama gue, secara sih ... pesona seorang Aryan memang susah untuk ditolak, batinnya.

"Jangan ge-er, udah masuk aja dulu."

Aryan manggut-manggut dan mengikuti langkah Alsa dari belakang, ia kembali memandangi seisi rumah gadis itu dengan saksama. Sofa tamu berwarna cokelat menyambutnya paling pertama. Di samping kanan terdapat dua ruangan yang diduga adalah kamar. Mata Aryan tertumpu pada tangga di sudut, tepat di samping ruangan paling belakang. Tangga tersebut menghubungkan lantai dua di mana terdapat dua kamar dan sebuah ruangan kosong yang tidak begitu luas dengan jendela besar menghadap barat.

Mungkin untuk menikmati senja, pikirnya.

Rumah ini minimalis, akan tetapi memiliki desain interior yang cukup unik. Nuansanya perpaduan antara klasik dan alam, banyak bunga yang tumbuh terawat di pot-pot. Aryan merasa nyaman berada di rumah ini. Ya, bagaimana pun juga, ini calon rumahku juga, bukan? Meski setelah menikah dengan Alsa nanti, kami akan tinggal di rumahku, batinnya berfantasi.

Cowok itu memukul dahinya cukup keras untuk menyadarkannya pada kenyataan yang tak sesuai. Suara tepukan itu membuat Alsa menoleh?

"Kenapa lo?"

"Eh, enggak. Ada nyamuk."

Dia pikir rumah gue hutan apa? batin Alsa menggerutu. "Duduk dulu di sini, gue mau ke kamar, ganti baju."

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang