Sabtu - 9 - Kehidupan Tak Selalu Manis

76 9 2
                                    

Lampu jalanan menjadi penerang utama ketika cahaya matahari kian memudar dari langit barat. Semburat jingganya semakin ditelan petang. Tangan kanan Aryan memegang kemudi, sedang tangan kirinya sibuk menjelajahi nomor telepon di ponsel.

Ditekannya nama Galen, kemudian disusul tombol memanggil. Dia mendekatkan benda pipih itu di telinga. Telepon tersambung setelah nada hubung terdengar beberapa detik.

"Tolong cari tahu alamat Elvino," pinta Aryan.

"Elvino siapa sih? Lo jangan ngadi-ngadi main jadi detektif, Ar."

"Jangan sembarangan kalo ngomong, Elvino anak kelas 11 MIPA 1. Kalo udah ketemu langsung chat gue." Tanpa menunggu persetujuan Galen, ia sudah memutus sambungan telepon.

Kecepatan mobil semakin bertambah, angin yang masuk dari jendela menerbangkan rambut pirang Aryan. Mata biru itu berpaling pada layar ponsel yang menyala setelah mengeluarkan suara. Pesan dari Galen. Temannya itu sudah mengirimkan sebuah alamat yang akan ditujunya.

Lalu lalang kendaraan semakin sepi setelah Aryan memasuki kawasan perumahan. Tidak terlalu besar, tetapi penghuninya adalah orang-orang kalangan menengah ke atas. Dia menghentikan mobil tepat di depan gerbang warna coklat yang baru dicat. Aryan turun dari mobil, mendekati gerbang, lalu menekan bel. Beruntung, Elvino sendiri yang membukakan untuknya. Dia tidak perlu masuk ke rumah, hanya duduk di kursi halaman dengan penerangan minim dari lampu taman.

"Ada maksud apa lo ke sini?" tanya Elvino setelah menjatuhkan diri di kursi.

"Gue mau tanya sesuatu." Wajah Aryan sedikit bimbang, tetapi batinnya terus mendesak. "Tentang Alsa. Ya, setelah kejadian hari itu, pastinya gue punya banyak pertanyaan kenapa dia--"

"Nggak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Lo ngomong ke dia aja nggak sopan banget. Lo ngeledek nama dia."

"Dengerin gue, kalau dari sisi itu gue paham siapa yang salah. Tapi, kenapa dia benci Sabtu? Dan ada apa dengan bokapnya?"

"Gue nggak tahu kenapa dia benci Sabtu. Dan lo nggak ada urusan buat tanya tentang bokapnya." Elvino tersulut emosi, dia berdiri hendak meninggalkan tempat.

"Vin, lo suka sama Alsa?" tanya Aryan lirih, takut pertanyaannya salah.

"Gue suka atau enggak, itu bukan urusan lo. Kalau udah nggak ada kepentingan lagi, lo boleh pergi." Elvino bangkit dari duduk, membalikkan badan, dan bersiap melangkah masuk ke rumah.

Aryan dengan sigap menahan bahu cowok itu dan mendudukkannya kembali. "Gue harus tahu permasalahan dia, karena dia nggak bisa fokus pada olimpiade, ngerti? Oke, lo boleh nggak kasih tahu gue kalau memang pengen Alsa gagal olimpiade. Gue pamit."

Laki-laki itu berdiri, berharap Elvino mencegahnya dan memberitahukan apa yang ingin diketahui. Tak ada reaksi apa pun. Baiklah, dia harus berjalan menuju mobil. Kedua tangan masuk ke saku celana dan sepasang kakinya melangkah pelan keluar gerbang.

Sial, nggak ada reaksi dari bocah tengil itu. Gagal nih. Bodoh amat lah, pulang aja, batinnya menggerutu.

Setelah memasuki mobil, Aryan mengendarai dengan cepat menuju rumahnya yang cukup jauh.

📚

Mobil yang dikendarai Aryan melaju lambat. Gerbang di depannya terbuka dan seorang satpam menyambutnya dengan membungkukkan badan. Dia terus melajukan kendaraan hingga memasuki garasi, memarkirkan mobilnya di samping mobil sang ayah. Seusai keluar dari mobil dan masuk ke rumah, Aryan berniat langsung ke kamar.

"Aryan dari mana saja? Kenapa datang terlambat?" Suara bariton itu menahan langkah kaki Aryan di tangga.

Sudah Aryan duga, pria itu akan menanyai habis-habisan hingga ke akar. Dia sering diam ketika dimarahi karena keterlambatan, tetapi apakah pria yang dipanggilnya Dad itu punya waktu untuk keluarga? Jawabannya tidak.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang