Sabtu - 6 - Weekend

127 14 23
                                    


Untuk yang kesekian kalinya, Alsa kembali tersentak dari tidur. Bukan darah atau mayat orang terkasihnya yang telah membujur kaku di lantai. Melainkan sosok itu muncul dan membisikkan kata-kata ajakan untuk masuk ke sebuah ruangan. Gadis itu yakin ruangan yang yang dilihatnya adalah ruang kerja sang Papa. Ada apa di sana dan apa ada hubungannya dengan mimpi ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Alsa, terasa begitu berat dan pening. Dia meregangkan tubuh dan bangun dari ranjang. Akan tetapi rasa pening itu tak kunjung reda, Alsa mengacak rambutnya asal yang sudah tak beraturan sejak membuka mata.

Sepasang kakinya melangkah menuju kamar mandi di sisi kiri ruangan. Bersiap membersihkan diri dengan guyuran air hangat yang diharapkan bisa menenangkan pikiran. Tak butuh waktu lama Alsa selesai dengan ritual mandinya dan keluar untuk mengganti pakaian.

Gadis berambut hitam itu bergegas menuju dapur dan mendapati Mamanya memasak. Dia segera membantu menyiapkan makanan dan menyajikan di meja makan. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh, namun Bian belum terlihat keberadaannya di meja makan.

"Panggil saja Abangmu, mana mungkin jam segini masih tidur. Mungkin bermain permainan daring di laptopnya."

Tanpa menjawab, Alsa melangkah ke kamar Bian di samping kamarnya. Dan benar, pintu tak dikunci. Gadis itu hendak membuka namun urung ketika mendengar cekikikan tawa disusul dengan suara Bian yang sedang berbicara.

Dengan siapa dia bicara?

Karena rasa penasaran, Alsa membuka pintu sedikit untuk mengintip. Terpampanglah tubuh Bian yang berbaring tengkurap menghadap laptop yang menampilkan video call dengan seorang wanita cantik. Sudah Alsa duga sebelumnya. Mana mungkin seorang Bian tahan tidak berkomunikasi dengan wanita selama libur di rumah.

Dengan pelan Alsa membuka pintu lebih lebar dan berjalan berjingkat menuju ranjang besar Bian. Sedetik kemudian gadis itu melompat di samping tubuh Abangnya hingga membuat pemuda itu terkejut dan menutup layar laptopnya setengah.

"Alsa apa-apaan, sih? Pergi sana!"

Alih-alih menuruti perkataan Bian, Alsa justru membuka lebar layar laptop abangnya yang masih terhubung video call dan menatap dengan penuh selidik pada wanita di sebrang sana.

"Halo, Kakak! Pacarnya Abang ya?"

Dengan gugup wanita itu menjawab, "Eh, bu--bukan kok. Aku Fira, temen kulianya Bian."

Alsa mengalihkan pandangan pada Bian. "Bukan apa belum nih?"

"Eh, bocah, pergi sana. Udah waktunya sarapan, 'kan? Sana pergi! Abang nyusul bentar lagi."

Dengan wajah bersungut-sungut, Alsa menuruti perkataan Bian. Sedangkan pemuda itu mengucap salam perpisahan pada wanita yang mengaku bernama Fira dan mematikan laptop.

Selesai melaksanakan rutinitas sarapan bersama di akhir pekan, kini saatnya menjalani aktivitas dan kesibukan yang menanti. Seperti biasa, Mama pergi menjaga kafe. Sedangkan Axel memutuskan ikut untuk mengisi waktu luangnya.

"Aku ikut ya," pinta Alsa pada kedua orang di depannya dengan wajah memelas.

"Kamu tungguin rumah aja, bersih-bersih atau apa lah gitu. Abang sama Mama jaga kafe," sahut Bian dengan tawa yang tertahan.

"Nggak mau." Bibir gadis itu mengerucut sambil menggelengkan kepala.

Melihat tingkah kedua anaknya yang bertengkar membuat wanita paruh baya itu geli. Dia menengahi pertengkaran itu. "Alsa, kamu nggak belajar buat persiapan olimpiade?"

Alsa tampak berpikir keras, air mukanya terlihat serius. Namun, tak lama setelah itu rautnya berubah cerah. "Tenang, aku bisa belajar di kafe kok. Aku bawa bukunya, udah dipinjemin sama rekan olimpiade."

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang