Prolog

574 62 98
                                    

Prolog

Deru kendaraan yang tiada henti berlalu lalang, bertambahnya polusi udara membuat kota Jakarta semakin menderita. Klakson terus menjerit-jerit kala lampu lalu lintas sudah menampakkan warna hijau, tetapi kendaraan-kendaraan yang berbaris terlalu lambat melaju. Ditambah lagi dengan cuaca panas membuat semua orang mengeluh.

Senyum bahagia terus menghiasi wajah seorang wanita dan putrinya, sesekali iringan canda dan tawa bersusulan. Mereka terus berjalan menyusuri trotoar yang tak terlalu ramai setelah berbelanja di pasar. Seorang gadis berusia enam tahun menjilat es krim yang mulai meleleh di tangan kanan sebab terik matahari yang begitu menyengat, sedangkan tangan kirinya digandeng kuat oleh sang mama. Takut gadis kecil nan lucu itu berlari dan terjatuh, atau mungkin saja keluar jalur trotoar.

Ma, nanti aku mau makan disuapi Papa, ujar gadis berambut pendek yang beterbangan diterpa angin.

Papa baru pulang dari kantor, Sayang, pasti Papa capek. Sama Mama aja ya? Nanti Mama suapin kamu sama Abang, tutur sang mama dengan lemah lembut. Wanita itu memahami suaminya bahwa saat ini perusahaan tempat ia bekerja sedang berada di ujung tanduk. Tidak tahu persisnya, tetapi setelah mencuri dengar percakapan telepon yang dilakukan sang suami, masalahnya adalah keuangan perusahaan. Ayah dari dua anak itu juga sering pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali hanya untuk mengurus bisnis yang menjadi sumber penghasilan keluarga mereka.

Si gadis terlihat mengerucutkan bibir, membuatnya terlihat semakin menggemaskan dengan pipi yang terlihat semakin gembil. Yaudah, sama Mama aja. Kalau Abang sudah pulang dari sekolah, aku mau main sama Abang.

Wanita yang menginjak kepala tiga tersenyum, kemudian mencium puncak kepala putrinya singkat dan mengusap rambut halus di sana. Keduanya terus berjalan hingga sampai di sebuah rumah berpagar tinggi berwarna hitam. Wanita itu mengeluarkan kunci dari dalam saku, terkejut ketika hendak membuka gembok, sebab benda yang seharusnya terkunci tidak ada di sana. Wanita itu mengabaikan pemikiran buruknya dan mulai masuk.

Baru saja gerbang hendak ditutup, terdengar suara anak lelaki berusia sepuluh tahun berseru, Mama .

Abang sudah pulang. Hore ... aku mau main sama Abang. Gadis itu bersorak gembira ketika melihat kakaknya pulang dari sekolah. Ia langsung menghambur ke anak berseragam pramuka yang terlihat kelelahan namun tetap tersenyum agar adiknya merasa senang.

Ibu dua anak itu berjalan lebih dulu untuk masuk ke rumah dan langsung menuju dapur. Akan tetapi, di ruang makan nampak sebuah pemandangan yang membuatnya heran. Kursi berantakan, bahkan ada beberapa kaki yang patah. Ia melangkahkan kaki lebih jauh lagi hingga ia tak percaya pada matanya yang melihat sesuatu yang mengerikan. Untuk yang pertama kali ia merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Oksigen lenyap entah ke mana, membuat paru-parunya berhenti bekerja. Cahaya di sekelilingnya hilang, semua berubah menjadi gelap, tas belanja yang dipegang terasa berat dan akhirnya jatuh dengan isinya yang berserakan di lantai. Tubuh ramping itu terasa lemah dan luruh ke lantai bersamaan dengan menutupnya kelopak mata.

Dua anak tersebut memasuki rumah dan mencari mamanya, karena tidak menemukan akhirnya mereka menuju dapur. Si anak laki-laki tercengang melihat seonggok mayat, lebih tepatnya tubuh seorang laki-laki yang mereka panggil dengan sebutan ... Papa, terbujur kaku bersimbah darah di lantai. Terdapat luka sayatan di leher dan darah mengalir dari dada melalui celah pakaian. Cairan merah kental mengalir ke seluruh penjuru, membuat siapa pun ngeri melihatnya. Tak terkecuali dua bocah yang tampak ketakutan.

"Papa ...." Anak laki-laki yang mulai terisak ketakutan berjalan perlahan mendekati tubuh sang papa. Dia berniat membangunkan pahlawan itu, namun jari kelingkingnya tiba-tiba ditarik oleh sang adik.

"I--itu Papa kenapa, Bang?"

"Jangan ke sana! Ayo, mendekat sama Mama, bangunin Mama ya!" Anak laki-laki itu menggiring adiknya ke tempat di mana sang mama pingsan.

"Mama, bangun! Aku takut, Papa berdarah," teriak gadis kecil pada mamanya dengan suara sumbang.

Anak gadis itu bersimpuh dan menangis di samping tubuh mamanya seraya mengguncang-guncang tubuh tersebut. Sedangkan si anak laki-laki keluar dari rumah dan berteriak pada tetangga untuk membantu mereka.

Papa! Papa saya! To--tolong Papa sama Mama saya, Pak!" Teriakan itu mengundang beberapa warga untuk mendekat dan menanyakan penyebabnya. "Papa sa--saya, tolong!" Air matanya luru begitu saja, ia menangis tersedu bercampur ketakutan.

Gerombolan warga segera memasuki rumah besar bercat krem. Setelah melihat apa yang terjadi, mereka sama terkejutnya dan salah satu dari mereka bergegas menelpon rumah sakit untuk mengirimkan ambulans.

Mayat telah dievakuasi dan dimasukkan ambulans. Sedangkan wanita yang pingsan dirawat oleh salah satu tetangga.  Seorang wanita tua memeluk dua anak yang tengah menangis ketakutan dan terlihat sangat trauma atas kejadian yang baru saja mereka alami.

23 Juni 2019

-

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang