Sabtu - 12 - Kunci Misterius

73 8 0
                                    

Semburat jingga mewarnai langit barat. Senja selalu Alsa temui akhir-akhir ini ketika berada di jalan menuju rumahnya karena pulang petang. Dia lelah, sangat lelah. Namun, olimpiade ini juga bukan main-main, Alsa harus sungguh-sungguh belajar agar tidak mengecewakan semua orang yang sudah menaruh harapan besar padanya. Ya, dia harus berusaha sebaik mungkin dan akan membuktikannya segera.

Sedikit membenarkan posisi duduknya di kursi bus, Alsa tiba-tiba saja mendapati seorang laki-laki misaterius yang berdiri di sampingnya dengan satu tangan berada pada pegangan bus. Jeans hitam dan kaus yang menyelimuti tubuhnya serba hitam, ditambah masker dan topi yang senada pula. Wajahnya sedikit-sedikit menunduk, tetapi matanya terlihat cukup tajam. Jika dilihat dari postur tubuhnya, laki-laki ini usianya tak begitu jauh di atasnya. Keterkejutan dan sedikit ketakutan mendadak menghampiri ketika bus mengerem secara mendadak, membuat pria misterius ini hampir terjatuh pada tubuhnya. Alsa semakin tidak sabaran untuk segera turun dari sini.

Gadis itu menghela napas lega tatkala bus berhenti sempurna di halte. Setelah menuruni bus yang berhenti di depan blok perumahannya, dan memastikan tidak ada yang aneh dengan sekitar, Alsa melangkah di jalan setapak menuju rumah yang berjarak 50 meter. Tepat setelah gerbang hitam berdiri kokoh tanpa ada celah yang terbuka, dia berhenti. Sepertinya tidak ada orang di di rumah, terpaksa Alsa harus membuka sendiri gerbang tersebut dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya. Dia masuk setelah berhasil meloloskan gembok yang mengaitkan dua besi dan melangkah menuju pintu utama rumah.

Alsa melakukan hal yang sama. Memutar kunci dan membuka pintu krem di depannya. Benar, rumah sepi. Mungkin Mama dan Bian masih berada di kafe, Alsa langsung menuju kamarnya. Ia berjalan ke meja belajar untuk meletakkan tas dan beberapa buku yang dipegangnya. Pantulan dirinya di cermin tepat di sebelah kiri menyita perhatian. Rambutnya masih tergerai dengan jepit daisy di sana, ia mengingat kejadian beberapa jam lalu saat di taman perpustakaan. Ah, kenapa Alsa merasa malu hanya dengan memgingatnya saja?

Direbahkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang empuk. Rasa penat itu rasanya berangsur terangkat, embusan angin dari jendela terasa lebih menenangkan daripada dinginnya AC. Rasa kantuk mulai menggelayut, kelopak mata terasa berat untuk tetap terjaga. Baru saja alam bawah sadar menguasai secara perlahan, kesadarannya tertarik paksa oleh dering telepon di ponsel.

Aryan William. Nama itu tertera di layar ponsel. Sejujurnya Alsa sedikit senang karena cowok itu menelponnya, tetapi ia harus mempertahankan citranya agar tidak jatuh di depan Aryan. Akhirnya Alsa menekan tombol hijau dan mendekatkan benda pipih itu di telinga.

"Ada apa?" tanya Alsa dengan nada datar yang tertahan.

"Nggak ada, gue mau kirim PDF soal-soal olimpiade."

"Yaudah kirim aja, nanti malem gue kerjain."

"Beneran ya dikerjain, jangan lupa!"

"Kapan, sih, gue lupa?"

"Oke, memang nggak pernah tapi--"

"Udah ... udah, cukup. Gue mau istirahat bentar aja. Jangan ganggu gue." Alsa mematikan teleponnya secara sepihak karena tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Aryan. Kemudian ia lanjut memejamkan mata lagi.

Ponsel itu kembali berbunyi, menampilkan nama Aryan di sana. Awalnya Alsa hanya mengabaikan panggilan itu, dua kali panggilan, tiga kali panggilan, sampai empat kali panggilan. Meski tadi ia sempat merasa senang, sekarang panggilan itu terasa sangat mengganggu. Mau tak mau Alsa harus memarahi manusia paling tak berakal sedunia.

"Lo itu kenapa sih? Gue itu mau tidur, bentar aja. Nggak ganggu bisa,'kan?"

"Bisa kok, asal--"

"Terserah." Untuk kedua kalinya, Alsa menutup sambungan secara sepihak.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang