Sabtu - 11 - Asal Mula Aryan William

90 9 1
                                    

"Gue anterin pulang yuk, sekalian mau mampir ke warung nasi goreng deket rumah lo," ajak Elvino setelah rampung membereskan seluruh barang-barang ke tas punggung.

Alsa berpikir sejenak, memilah kata-kata yang tepat untuk menolak ajakan sahabatnya. "Maaf ya, Vin, hari ini gue harus belajar buat olimpiade. Udah tinggal menghitung hari nih." Wajah Elvino tersirat kecewa, gadis itu segera angkat bicara. "Gue janji, besok pulang bareng lo."

"Beneran nih? Ntar lo sibuk lagi?"

Seusai memasang tali tas di kedua bahu serta memeluk tumpukan buku, Alsa berkata, "Janji, tapi besok traktir es krim ya?"

"Apapun buat Tuan Putri." Kedua muda-mudi itu tertawa, Elvino merasakan wajahnya menghangat, dadanya berdebar. Senyum dan tawa milik gadis ini seakan menjadi candu baginya

"Oke, gue pergi dulu ya. Hati-hati di jalan, Vin." Alsa sudah berbalik dan hendak melangkahkan kaki, tetapi ia berhenti kemudian berbalik. "Hari ini lo boleh kencan sama cewek di belakang lo tuh." Setelah mengatakannya, Alsa tertawa kecil dan meninggalkan kelas dengan cepat, tak ingin mendapat omelan dari sahabatnya yang tak pernah berkencan. Ya ... meskipun dia sama saja tidak pernah melakukannya.

Sepeninggal Alsa dari kelas, cowok itu benar-benar merasa kosong. Meskipun beberapa teman kelasnya masih tinggal, dia merasa seolah bagian dari dirinya telah hilang. Elvino merasa terganggu dengan perasaan ini, ingin dia meluapkan, tetapi tidak tahu caranya. Rasa ketidakrelaan mulai menelusup kala menyadari fakta bahwa Alsa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Aryan.

Ya, Elvino sadar dia cemburu. Pun fakta bahwa hal itu timbul karena rasa cinta sudah mendiami sudut hatinya. Oh Tuhan, cowok itu benar-benar benci mencintai sahabatnya sendiri. Mana mungkin persahabatan yang mereka jalin sejak duduk di bangku SMP akan rusak hanya karena cinta monyet? Lalu, apakah Elvino harus memendamnya? Bisakah hal ini disebut adil?

Cowok berambut pekat menghela napas panjang mendapati kelas sudah kosong. Dia melangkah keluar dengan malas, menyusuri selasar dan lorong hingga tiba di lift. Masuk ke kotak besi dan menunggu dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik saku celana. Setelah denting berbunyi dan pintu terbuka, Elvino keluar dan menuju pintu utama gedung.

Elvino larut dalam pikirannya, berjalan tanpa memerhatikan apa yang ada di depan. Bahkan, tubuhnya yang menyerempet bahu seorang siswa tak dirasakan sama sekali. Tiba-tiba sebuah tepukan di bahu membuatnya tersadar.

"Vin, lo nggak apa-apa? Kok ngelamun?" tanya seorang siswi bernama dada Selasa Agatha.

"Selasa, gue nggak apa-apa, kok."

"Udah mau pulang?" Elvino mengangguk, Selasa melanjutkan, "tumben sendirian, mana Alsa?"

"Eh, emm ... Alsa ... Alsa di perpus. Ya, dia belajar buat persiapan olimpiade bahasa Prancis."

Selasa mengernyit heran, tidak biasanya Elvino berkata gugup karena notabenenya cowok itu tidak pernah berbicara berbelit-belit. Namun, dia hanya bisa mengangguk. "Oke, gue duluan ya, Vin."

"Hati-hati."

Sebersit pikiran untuk memata-matai Alsa dan Aryan terlintas di benaknya. Namun, ditepisnya jauh-jauh. Dia tidak boleh bertindak demikian. Saat ini mereka adalah sahabat, dan kepercayaan harus dimiliki oleh masing-masing. Tidak sopan rasanya mengintai sahabat sendiri atas dasar cemburu. Mungkin Aryan memang dekat dengan Alsa, tetapi Elvino adalah sahabat yang lebih mengerti cewek itu.

"Elvino!" seru seorang gadis dengan riang sambil menepuk bahu Elvino, membuat laki-laki itu terkejut.

"Rania! Kenapa sih?"

"Tebak, gue punya apa?"

"Nggak mau nebak."

"Ta taraaa ... dua tiket nonton bioskop."

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang