Sabtu - 4 - Sakit Nggak Tuh?

148 21 48
                                    

Ruang kelas XII Bahasa 3 terlihat rapi dan bersih. Beberapa bangku diisi oleh siswa-siswi yang mengikuti seleksi olimpiade bahasa Prancis pekan depan. Pak Henry terlihat sibuk memilah lembaran kertas di mejanya.

Suara pintu terbuka menarik perhatian Pak Henry dan beberapa siswa. Seorang laki-laki muncul dari sana. "Permisi, Pak, mau ngambil tas."

"Sini kamu, saya minta tolong bagikan ini ke mereka."

Remaja itu tampak membaca sekilas isi lembaran kertas. Dia mengangguk-angguk dan mulai berkeliling dari meja ke meja untuk membagi soal-soal seleksi. Beberapa anak perempuan terlihat senang melihat keberadaan laki-laki itu, ada yang berbisik-bisik dan ada yang salah tingkah ketika menerima kertas tersebut.

"Hai, Kak Aryan," sapa seorang siswa dengan malu-malu. Membuat laki-laki bernama Aryan itu meringis aneh.

"Iya, hai." Cepat-cepat Aryan meninggalkan meja dan berhenti di meja dekat pintu.

Alsa memainkan bolpoin yang dipinjami oleh pak Henry. Ya karena dia tidak membawa apa pun ke sini. Alsa yang masih memakai dobok itu merasa bosan dan menyangga kepalanya dengan satu tangan sedangkan matanya menerawang jauh ke luar pintu.

"Kalau mau berantem jangan di kelas gue. Di gelanggang sana! Atau minimal di lapangan deh."

Mata Alsa sontak menuju si empunya suara, melihat sosok lelaki yang meletakkan kertas di atas meja. Matanya biru secerah langit, dia pernah melihat mata itu. Dari gaya bicara yang sombong, dapat dipastikan bahwa dialah si penjahat yang telah menabrak Elvino. Kekesalan Alsa kembali mencuat ke permukaan.

Baru saja hendak bersuara, Aryan sudah mendahuluinya. "Dilarang ribut di sini. Ada seleksi nih, lo juga, 'kan? Ayo cepetan dikerjain, Adek Pinter."

"Itu mulut pengen ditabok ya?"

Aryan meletakkan jari telunjuknya melintang di bibir Alsa. "Shhtttt ... udah dibilang, nggak boleh ribut. Itu soal-soalnya cepet diisi, Dek! Keburu waktunya habis."

Ogah-ogahan Alsa duduk di kursinya kembali. Berusaha mengumpulkan fokus untuk mengerjakan soal seleksi dengan baik. Meskipun dia adalah anak olimpiade fisika, tidak ada salahnya mencoba mengikuti olimpiade yang lain. Pengalaman adalah hal paling penting untuk kehidupan di masa mendatang.

Aryan melihat tasnya ada di laci meja yang ditempati Alsa. Adik kelas itu duduk di bangkunya dengan tenang, mungkin sedikit menjahili tak apa selagi pak Henry ke luar dari kelas. Dia mendekatkan tubuh pada Alsa sembari tangannya meraih tas. Terus mendekat hingga Alsa menyadarinya, dia menoleh ke kiri dan bertatapan mata teduh itu. Menyadari ada seringai licik di bibir Aryan, Alsa meneriakinya.

"Ngapain lo deket-deket? Jauh sana!"

"Heh, gue ngambil tas nih." Aryan mencibir sambil memamerkan tas hitamnya yang mahal. Dia mengerlingkan mata pada Alsa dan berlalu pergi sambil berucap, "Gue nggak ada niatan buat cium lo, jangan terlalu percaya diri."

Hampir seisi kelas memusatkan perhatian pada mereka berdua selama beberapa lama, ada, ada bisik-bisik tak jelas yang masuk ke telinga. Helaan napas kasar lolos dari mulut Alsa. Sepertinya laki-laki itu pembawa sial, baru saja bertemu dua kali sudah menguras tenaga dan emosi. Setelah ini jangan sampai dia melihat makhluk menyebalkan itu lagi.

Enyahlah dari bumi!

📚

Tubuh papa Alsa terbaring dengan darah yang mengucur dari jantungnya. Ia tidak kunjung bangun sedangkan mamanya juga begitu. Jeritan Bian---abangnya---menggema ke seluruh ruangan, penuh ketakutan dan Alsa ingin menangis.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang