Sabtu - 16 - Wajar Berduaan, Kita kan Pacaran

175 10 1
                                    

Sambil memasang helm di kepala, bibirnya menyunggingkan senyum kepada seorang wanita paruh baya yang wajahnya memancarkan kebahagiaan. Di belakang sang Mama, Alsa hanya bisa nyengir kuda melihat Aryan yang tak tega meninggalkan Mamanya yang masih semangat berbicara pada pemuda itu.

"Terima kasih banyak, Nak Aryan, sudah mengajari Alsa sampai kalian bisa juara tiga olimpiade," ucap Mama dengan senyuman lebarnya.

"Mama, sudah dong. Aryan mau pulang tuh," sela Alsa seraya melangkah tepat di samping Mamanya.

"Aduh iya, ya sudah, hati-hati di jalan ya, Nak Aryan. Kalau mau main ke rumahnya Alsa boleh kok."

"Iya, Tante, Aryan pulang dulu." Setelah siap dengan motornya, Aryan segera melesat ke luar dari pekarangan rumah dan menyusuri jalanan yang ramai.

Mama membalikkan badan dan berjalan, tanpa mentap Alsa, dia berkata, "Pacar kamu anak baik ya, Mama harap kamu ketularan baik juga."

"Ih, Mama apa sih? Alsa nggak pacaran tau." Alsa memeluk tubuh Mamanya dari belakang sambil terus melangkah memasuki rumah

Gadis bermata hitam pekat itu melepas pelukannya dan melambatkan langkah. Sedangkan Mama terus menuju dapur. Tiba-tiba di depannya telah berdiri sosok yang menjulang tinggi dengan kedua alis menyatu sempurna, ditambah sorot matanya yang mengintimidasi, membuat Alsa mengernyit heran.

"Lo pacaran?"

"Kenapa? Emang cuma Abang saja yang boleh pacaran?

Bian mengalihkan pandangan pada Mamanya yang belum jauh meninggalkan mereka. "Ma, pokoknya ini bocah nggak boleh pacar-pacaran. Masih kecil ini, kelakuannya masih manja aja sok-sokan mau pacaran."

"Woi, Bian! Kenapa, sih? Aku tuh nggak pacaran."

"Awas sampai ketemu pacaran sama bocah tadi."

"Bilang aja iri! Kenapa? Udah ditinggal sama mbak-mbak kemarin ya?" Alsa berseru diiringi dengan lari kencang meninggalkan Abangnya. Sekarang pasti dia sedang dikejar-kejar dan keduanya berakhir saling menggelitiki satu sama lain.

📚

Meja yang berada di sudut menjadi pilihan mereka berdua tatkala meja-meja lainnya sudah dipenuhi siswa-siswa yang kelaparan dan menunggu makanan datang dengan tidak sabaran. Suara riuh rendah melewati indera pendengaran keduanya, namun mereka masih larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga dua gelas es cokelat yang telah di antar ke meja tersebut, hanya Alsa yang menyadarinya, sedangkan laki-laki di depannya masih tenggelam. Seperti ada suatu kekhawatiran dan ketakitan yang menghampiri pikirannya.

"Jadi, bagaimana reaksi mereka setelah aku pulang? Nggak ada apa-apa, kan?" tanya Aryan menginterupsi lamunan gadis di depannya.

"Nggak ada, tenang aja," sahut Alsa sembari meminum es cokelatnya.

"Nggak ada. Tapi karena nggak ada itulah yang bikin gue sedikit khawatir. Takutnya mereka memang sudah lihat kita berusaha masuk ke ruang kerja secara diam-diam. Apalagi lo melibatkan gue sebagai orang luar."

Helaan napas lolos dari mulut Alsa, ia berusaha menenangkan laki-laki di depannya, "Kalau memang kita ketahuan, setidaknya Bang Bian sudah langsung mencak-mencak di depan kita. Jadi, intinya aman lah, nggak ada apa-apa. Kapan-kapan kita coba lagi."

"Gimana kalau mereka curiga karena kita berduaan di rumah lo, cuma berduaan saja ...."

"Maksud lo apa?" tanya Alsa dengan nada sinis, tahu apa maksud tersembunyi dari perkataan Aryan.

"Ya ... nggak apa-apa juga sih, memang wajar kalau kita berduaan. Kita kan pacaran, kalau aman-aman saja, berarti Mama sudah kasih lampu hijau."

"Gila lo. Bayar esnya, gue cabut ke kelas!" Alsa beranjak setelah mencengkeram gelas es dan meninggalkan meja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang