"Arghh kenapa jadi tidak terkendali seperti ini." Jeno mengacak-acak rambutnya frustasi.
Selepas pulang dari sekolah, Jeno memilih untuk mengurung dirinya di dalam kamar, bahkan tak membiarkan Soobin masuk atau bicara dengannya. Jeno memperhatikan telapak tangannya yang lebar. Pikirannya terus mengingat-ingat dirinya yang tak phobia sedikit pun ketika dekat Im Seul.
"Kenapa bisa aku menyentuhnya? Menggendongnya?" pikir Jeno.
Jeno bergegas menggeledah tas sekolahnya untuk mencari ponsel. Setelah ponselnya ketemu, Jeno langsung masuk ke aplikasi telepon dan mengetikkan sebuah nomor, lalu Jeno menelepon seseorang.
Awalnya, Jeno mengajak lawan bicaranya di telepon untuk bertemu, tetapi karena ada kesibukan, akhirnya Jeno mengutarakan niatnya untuk berkonsultasi. Siapa lagi jika bukan ke psikolog Jung.
"Apa? Philophobiaku mulai sembuh?" nada bicara Jeno meninggi ketika ia mendapat pernyataan yang baru saja ia tanyakan.
Di balik pintu kamar Jeno, Soobin memasang telinga untuk mendengar percakapan Jeno dan psikolog Jung.
"Kenapa begitu cepat kak?" tanya Jeno masih tidak percaya.
"Kan sudah aku bilang ketika kau datang pertama kali kepadaku. Phobiamu ini tidak terlalu parah, di tambah lagi kau sering berjumpa dengan orang yang membuat phobiamu hilang itu. Tapi ini bukan waktu yang cepat, karena kau sudah lumayan lama bukan mengidap phobia ini?"
"I—iya, tapi Im Seul? Haha... tidak mungkin. Bukan dia pastinya."
Masih setia berada di balik pintu, Soobin mengernyitkan kening ketika nama Im Seul di sebutkan.
"Mau percaya atau tidak, itu terserah padamu. Kau yang merasakannya, jadi kau sendiri yang akan meyakinkan dirimu. Kalau begitu, aku tutup teleponnya ya?"
"Sebentar kak, sebentar. Ada hal lain yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
"Waktu itu Im Seul berkonsultasi kepadamu, kak?" tanya Jeno ragu-ragu.
"Im Seul? Ah gadis itu... Iya."
"Konsultasi apa?"
"Aku tidak bisa memberitahumu, itu rahasia antara aku dan Im Seul. Kau kenal Im Seul?"
"Kenal."
"Kau penasaran ya tentang Im Seul? Ah iya kalian? Astaga jangan-jangan kalian ini berjodoh hahaha." Terdengar Hooseok tertawa renyah menggoda Jeno.
Jeno yang digoda pun langsung salah tingkah. Namun untuk menutupi rasa salah tingkahnya, Jeno langsung menutup teleponnya setelah berpamitan pada Hooseok.
"Menghilangkan phobia bisa secepat ini?" Jeno masih bertanya-tanya karena tak percaya dengan semua ini.
"Padahal aku baru mengonsumsi beberapa obat dan terapi satu kali. Tapi semuanya hilang hanya karena dia? Dia? Im Seul-i?"
Suara dering telepon membuat Jeno menoleh ke arah pintu. Ia pun bergegas menuju ke pintu dan membukanya. Jeno terkejut ketika Soobin berada di balik pintu kamarnya dengan gerakan panik untuk mematikan telepon itu.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Jeno.
"A—aku, aku, aku sedang itu. Ya, ini, mencari ponsel."
Jeno yang peka dengan gerak-gerik Soobin yang mencurigakan langsung panik sendiri. Ia takut Soobin mendengar semuanya.
"K—kau mendengar semuanya?" tanya Jeno dengan ekspresi ketakutan.
Soobin panik ketika melihat ekspresi Jeno menjadi seperti itu.
"Ya! Ya. Ya. Kau— kau, kau jangan panik." Soobin memegangi kedua bahu Jeno karena saudaranya itu terus melangkah mundur.
"Kau sudah, sudah mendengar semuanya?" tatapan Jeno beralih ke lantai. Pikirannya tiba-tiba kosong.
"Tolong, tolong jangan dengar semuanya, lupakan itu," ucap Jeno terisak.
"Astaga, kau tidak perlu ketakutan seperti ini." Soobin menggoyangkan bahu Jeno.
"Aku akan melupakannya. Aku janji. Aku akan berpura-pura tidak tahu apapun." Segera mungkin Soobin mengiyakan permintaan Jeno. Ia tidak mau terjadi apa-apa dengan saudaranya ketika ia tahu reaksi Jeno, di tambah soal phobianya.
Jeno menatap Soobin dan memegangi kedua lengan laki-laki itu.
"Ku mohon, jangan beri tahu siapapun, jangan beri tahu Im Seul, ku mohon padamu. Jangan biarkan dia menjauhiku, tolong."
🌼🌼🌼
Soobin berjalan sendiri menyusuri koridor. Soobin masih memikirkan kejadian semalam. Ia tak menyangka Jeno bisa menyukai gadis yang beberapa hari ini membuatnya memikirkan gadis itu."Kak Soobin!" panggilan seseorang membuyarkan lamunan Soobin.
Im Seul tersenyum ketika mata Soobin melihat ke arahnya. Lalu, kedua tangannya mengulur untuk memberikan sebuah kotak makan berwarna biru langit.
"Apa ini?" tanya Soobin bingung.
"Sandwich untuk kak Soobin," jawab Im Seul.
"Dalam rangka?"
"Tidak ada, hanya ingin memberi saja."
"Kenapa memberi padaku? Kau menyukaiku?" pertanyaan Soobin benar-benar tak meleset sedikit pun. Bahkan tak ada keragu-raguan sedikit pun untuk menanyakan hal seperti itu.
Im Seul yang memang menyukai Soobin langsung gelagapan.
"H—hah?"
"Aku tidak menyukai makananmu."
Setelah berpikir semalaman, akhirnya Soobin menemukan cara untuk menjauhkan diri pada Im Seul. Ia tak mau Jeno harus mengalami phobia yang baru saja disembuhkan hanya gara-gara keegoisannya.
"Selain tidak menyukai makananmu, aku tidak menyukaimu." Soobin berjalan meninggalkan Im Seul yang masih berada di posisi semula.
"K—kak S—Soobin. Tunggu." Soobin berhenti tanpa menoleh.
"Tidak apa-apa kalau kakak tidak menyukaiku, aku akan menunggu kakak sampai menyukaiku." Im Seul memberanikan diri dengan nada bicara yang sedikit bergetar.
"Aku tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menungguku."
Soobin kembali berlalu meninggalkan Im Seul dengan sejuta kesedihan.
"Baru saja ingin berjuang, malah sudah dibuat mundur oleh kenyataan," gumam Im Seul sambil menatap kotak makannya yang malang.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMINISCE : LAST LOVE
Fanfiction【Lee Jeno】 "Takdir itu indah, ya. Bisa-bisanya mempertemukan dua keistimewaan menjadi sebuah perasaan tanpa kepastian"