•HIM• 1 : Their First Meet

2.9K 206 13
                                    

     •╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌•

Gerakan tangan seorang gadis berambut sedikit cokelat dan bergelombang di atas sebuah buku jurnalnya itu semakin cepat dengan kedua airpods yang bertengger di kedua telinganya. Sera, malam ini memiliki suasana hati yang lumayan baik akibat alunan musik Pop yang baru-baru ini menempati deretan teratas di Chart Music.

Lumayan baik, berarti tak sepenuhnya baik, karena memang gadis itu kini tengah sibuk terpaku pada ringkasan materi mata kuliahnya yang harus ia hapal untuk ujian dua hari lagi namun, fokusnya menjadi terpecah ketika mendengar samar-samar suara berisik dari lantai bawah rumahnya. Sera dengan cepat melepaskan kedua airpods tersebut dan memfokuskan pendengarannya.

Refleks, ia pun menghela napasnya kasar seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kemudian dilemparkannya airpods itu ke atas meja dengan kasar setelah mendengar pertikaian antara kedua orang tuanya untuk yang kesekian kalinya. Namun ada yang berbeda dari pertikaian sebelumnya, baru saja ia dengar ada barang pecah dan langsung membuat jantungnya berdegup kencang.

Sera memilih keluar kamar untuk melihat apa yang telah membuat sang Ayah begitu marah hingga harus memecahkan suatu barang namun, langkahnya itu langsung berhenti di anak tangga yang pertama begitu melihat sang Ibu terduduk di hadapan Ayahnya yang sudah siap melempar sebuah vas bunga kepada Ibunya.

"Ayah!" teriak Sera dengan suara yang gemetar.

Dengan cepat Sera menuruni tangga dan menghampiri sang Ibu kemudian memeluknya dan memastikan bahwa panutan dalam hidupnya itu baik-baik saja. Bola mata Sera yang sudah memerah disertai air yang baik masih menggenang di sekelilingnya ataupun yang sudah jatuh di kedua pipinya itu mengarah pada Ayahnya.

"Lempar vasnya ke aku aja tapi jangan ke Ibu," ujarnya dengan keberanian penuh.

"Jangan, Sera. Kamu masuk ke kamar aja," elak Ibunya.

Sera menggeleng dengan bahunya yang semakin gemetar, "enggak, Bu, biar Ayah lempar vasnya ke aku aja."

"Mau jadi pahlawan kamu, hah?! Sana minggir!" Ayahnya berseru sembari tangannya memegang bahu Sera untuk menyingkir namun gadis itu tak bergerak dengan sekuat tenaga menahan kerasnya tangan sang Ayah.

"Kalau Ayah enggak mau lempar ke aku, taro vasnya!" seru Sera.

Plak!

Sera meringis begitu pipi sebelah kanannya terasa panas akibat satu tamparan keras mendarat di sana.

"Ini urusan orang tua, enggak usah ikut campur kamu!"

"Orang tua enggak seharusnya nampar anaknya sendiri, Ayah!"

Lagi-lagi Sera kembali memegangi pipinya yang dirasa darahnya terasa mendidih di dalam sana karena kembali merasakan pukulan yang sama seperti beberapa detik sebelumnya.

"Kenapa kamu menampar anakmu sendiri?" tanya sang Ibu.

"Mulutnya itu kayak enggak pernah disekolahin, beraninya ngebentak orang tua."

"Sera, jangan dengerin apa kata Ayah kamu, ya? Sekarang kamu masuk kamar aja," pinta Ibunya seraya mengusap lembut bahu sang puteri.

Sera yang tadinya tertunduk menjadi mendongak melihat mata Ayahnya yang dipenuhi amarah baik itu untuk Ibunya maupun dirinya.

"Ayo! masih mau ngomong lagi? Masih mau ditampar lagi, hah?!" sarkas Ayahnya.

Bulir air mata pun kembali jatuh di kedua pipinya bersamaan, bahunya gemetar, pipi kanannya sudah memerah. Sera ingin melawan lagi tetapi kedua kakinya justru membawanya pergi dari sana dan meninggalkan kedua orang tuanya, bukan ke kamar sesuai permintaan Ibunya melainkan ke luar rumah dan entah ke mana.

Sera berjalan pelan dan tak tahu tujuan di atas trotoar yang sudah sepi mengingat sekarang sudah tepat pukul sembilan malam. Matanya menatap kosong pada jalanan seraya pikirannya memutar kembali rentetan kejadian sebelumnya dan tentu saja pipi yang menjadi sasaran empuk tangan sang Ayah kini masih berkedut dan terasa sakit.

Baru kali ini ia berani ikut campur pertikaian yang terjadi di antara kedua orang tuanya namun, mengapa ia hanya bisa melakukannya setengah jalan saja tanpa menyelesaikan, pikirnya.

"Anjing!"

Seketika lamunanya itu buyar dan ia pun menjadi terperanjat begitu melihat sebuah tongkat baseball terjatuh di hadapannya, serta jangan lupakan satu kata kasar yang tiba-tiba terucap begitu ia hendak melewati sebuah gang.

"Eh maaf, gue enggak sengaja," ujarnya, orang yang berkata kasar tadi dan juga yang melempar tongkat baseball tersebut.

Sera menundukkan pandangan untuk menyeka air mata di pipinya begitu melihat orang itu berjalan mendekat, melalui ekor matanya Sera bisa melihat orang itu mengambil tongkat baseball tersebut kemudian berdiri di hadapannya.

"Gue bener-bener enggak sengaja, tadi gue juga enggak liat kalau lo mau lewat," ujar pemuda itu.

Sera yang masih tertunduk hanya mengangguk pelan tanpa ada niatan ingin mendongak melihat siapa pelaku yang sudah melempar tongkat baseball tersebut. Pemuda itu bilang, bahwa ia tak sengaja tetapi Sera merasa sekaan tongkat itu memang ditujukan padanya.

"Iya, enggak apa-apa."

Tanpa melihat ke arah pemuda itu sedikitpun Sera melongos pergi meninggalkannya namun, pemuda itu justru mengerutkan alis begitu melihat gadis itu tak mau menatap dirinya. Ia lalu memilih berjalan di samping Sera seraya sesekali mencuri-curi pandang melihat wajahnya.

"Lo kenapa nunduk mulu?" tanyanya yang hanya dibalas gelengan kepala dari Sera.

"Eh, ada tikus!" seru pemuda itu seraya jari telunjuknya menunjuk ke jalanan di depan Sera.

Kedua bola mata Sera langsung membulat dan segera menghentikan langkah begitu mendengar sebuah seruan dari pemuda di sampingnya. Bola matanya bergulir melihat jalanan di depanny melihat di mana objek yang disebutkan oleh pemuda tadi.

Seketika alis Sera mengerut, "mana?!" tanyanya sedikit menuntut seraya menoleh ke arah pemuda di sampingnya.

Pemuda itu sontak tersenyum ketika tipuannya berhasil membuat gadis yang membuatnya penasaran itu menoleh. "Nah, gitu dong jangan nunduk terus."

Bukannya marah terhadap jahilan pemuda yang tak ia kenal itu, Sera justru menatapnya dengan mata yang membulat tak percaya. Gadis itu beralih membekap mulutnya sendiri dan membuat pemuda itu mengerutkan alis bingung.

"Lo kenapa?" tanya pemuda itu.

Sera tak menjawabnya, ia sibuk menelisik setiap inci dari wajah pemuda itu. Memperhatikan garis rahang tegas nan sempurna, tulang hidung yang tinggi, dan juga garis bibir yang sudah ia lihat berulang kali. Semuanya tampak sama, sama seperti milik Himam, sahabatnya.

Namun malam ini penampilan Himam tampak sangat berbeda dari biasanya yang mengenakan kacamata serta pakaian rapih dan mencerminkan anak baik-baik.

Sementara pemuda di hadapannya itu justru kebalikannya, rambutnya sedikit berantakan, jaket jins hitamnya yang ia pakai sebagai luaran terlihat kotor, serta celana jins berwarna senada dengan model sobek di bagian lutut. Jelas tidak mencerminkan anak baik-baik sama sekali.

Kalau dia Himam pasti dia bakal negur gue atau paling enggak nyapa lah karena dia udah ngeliat muka gue, tapi kenapa malah diem aja? Lo ... Siapa? batin Sera.

-to be continued...

He Is Me | Heeseung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang