•HIM• 18 : Someone Help Him

490 81 2
                                    

     •╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌•

Sedaritadi Helmi hanya mondar-mandir berjalan di depan pintu seraya tangannya meremas-remas cemas tangannya yang lain.

"Bang, duduk aja dulu. Kak Sera pasti baik-baik aja," ujar Juan menenangkan Helmi tetapi pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya enggan untuk duduk.

Semua teman-teman Helmi ada di rumah sakit begitu melihat Sera tiba-tiba datang untuk melindungi Helmi dari tongkat baseball yang akan Himam arahkan kepadanya.

Riki yang tengah terduduk di kursi tunggu melirik sinis ke arah Himam yang berdiri sambil bersandar di dinding, tangannya masih gemetar dan kedua alisnya sedaritadi tak henti-hentinya menukik cemas.

"Dokter, gimana keadaannya?" tanya Helmi begitu dokter selesai memeriksa keadaan Sera.

Semua teman-teman Helmi yang tengah duduk langsung berdiri dan mendekat, begitu juga dengan Himam yang perlahan mendekat untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh sang dokter.

"Keadaannya baik-baik saja. Beruntung kalian cepat membawanya ke sini, untuk saat ini dia masih pingsan tapi dia akan segera sadar dan ketika dia sadar tolong jangan membicarakan hal yang akan membuatnya tertekan, karena itu akan mempengaruhi efek pukulan di bagian belakang bawah kepalanya," jelas dokter.

"Tapi dia enggak apa-apa 'kan, Dok?" tanya Helmi sekali lagi.

Dokter itu mengulas senyuman. "Dia tidak apa-apa, kalau ada apa-apa kalian panggil saya saja."

Helmi mengangguk, "terima kasih, Dokter."

Semua orang yang ada di sana langsung menghela napas lega setelah mengetahui tak ada luka serius pada Sera dan kekhawatiran Himam sedikit berkurang. Ia lantas segera merogoh sakunya untuk mengambil handphone.

Helmi yang melihat Himam mengeluarkan handphone langsung menghampirinya kemudian merebut handphone itu secara paksa dan membantingnya ke lantai.

Himam terperanjat bukan main lalu menatap Helmi penuh tanya serta ekspresi wajahnya yang tak bersahabat. Di luar dugaan, Helmi justru beralih menarik tangannya dengan kasar membawanya pergi dari rumah sakit.

"Lepasin! Lo mau bawa gue ke mana?!" seru Himam seraya tangannya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Helmi yang begitu kuat.

Helmi jelas tak menghiraukan dan yang ada hanya cengkeramannya pada tangan Himam semakin kuat, kedua kakinya terus membawanya menyusuri jalanan yang sudah mulai agak sepi itu.

"Lepas, anj—"

Helmi melepas tangan Himam dengan kasar kemudian menatap lekat adik laki-lakinya itu dengan matanya yang sudah memerah akibat menahan air mata, Himam bahkan bisa merasakan kekhawatiran dan juga kemarahan melalui mata Helmi.

Tanpa diduga pula, Helmi memukul adiknya itu dengan harapan Himam segera sadar dengan kesalahannya dan dengan apa yang telah ia perbuat.

"Lo juga tau 'kan gue enggak sengaja mukul dia!" Himam membela diri. "Lo pikir lo doang yang khawatir sama Sera? Gue juga sama khawatirnya kayak lo, gue takut dia kenapa-kenapa."

"Terus lo tadi mau ngapain? Telepon orang tuanya Sera? Terus kalau mereka nanya siapa yang mukul Sera lo bakal jawab apa? Lo bakal jawab kalau gue yang mukul? Lo mau nyalahin gue sama kayak apa yang biasa lo lakuin?"

Himam beralih diam mendengar cecaran pertanyaan dari Helmi.

"Denger ya, temen-temen gue juga liat lo yang mukul dia."

Himam menghela napasnya frustasi kemudian langkahnya membawanya menuju sebuah tiang listrik dan menumpukan keningnya di sana, terdengar suara tangis yang tertahan dari Himam kemudian tangannya memukul tiang itu berkali-kali dengan keras.

Helmi hanya melihat Himam dengan diam, ia merasa kasihan melihat perilakunya saat ini. Ingin sekali ia mengguncang kedua bahu adik laki-lakinya itu dan memintanya agar segera sadar bahwa yang selama ini ia lakukan itu salah. Merubah diri, membahayakan diri sendiri, itu salah.

Tiba-tiba handphone Helmi berbunyi, ada panggilan masuk dari Riki.

"Iya, Ki?"

"Yang bener?"

"Ya udah, gue balik sekarang."

Helmi mengangkat kedua ujung bibirnya membentuk senyuman kecil ketika mendengar bahwa Sera sudah sadarkan diri, senyumannya itu sontak memudar dan menatap Himam dengan sinis lalu ia pergi meninggalkan pemuda itu sendiran di sana.

Yang bisa Himam lakukan saat ini hanyalah menangis, punggungnya perlahan bersandar di tiang tadi. Himam mengusap wajahnya gusar, air mukanya benar-benar menunjukkan bahwa ia sedang sangat kacau.

"Hahahaha." Suara orang tertawa terdengar tak lama setelah Helmi pergi, membuat Himam menoleh cepat ke sumber suara.

"Liat, Bos, gayanya aja sangar tapi cengeng hahaha," ejek pemuda yang memiliki tato di tangannya.

Sementara yang dipanggil Bos itu hanya tertawa remeh sambil memandangi Himam dari atas hingga bawah. Tiga orang berandal itu mendekati Himam dan mengambil ancang-ancang seakan siap untuk mengeroyok Himam saat itu juga.

Si Bos itu mendapatkan giliran lebih dulu untuk melayangkan sebuah pukulan di wajah Himam kemudian diikuti oleh antek-anteknya, sedangkan Himam hanya bisa melawan dengan sisa tenaga yang ia miliki.

"Lo bener-bener cemen, ya," ucap si Bos itu seraya menangkup dagu Himam dengan tangan kanannya.

Bugh!

Pukulan kembali dilayangkan untuk Himam.

"Hey!"

Teriakan seorang pria menarik atensi Himam dan tiga berandal itu, beberapa pria paruh baya yang sedang berjaga di sekitar sini segera menghampiri mereka.

"Masih berani kamu berkeliaran di sini?!"

Ketika para pria paruh baya itu sibuk berbicara kepada tiga berandal itu, Himam perlahan berjalan mundur menjauh dari sana.

"Pak, cepat telepon polisi!" perintah salah satu dari pria paruh baya itu.

"Pak, jangan! K-kita enggak akan keluyuran di sini lagi."

"Sudah diam, cepat tahan mereka sampai polisi datang!"

Beberapa pria paruh baya itu langsung menahan tangan tiga berandal itu.

"Pak, bukannya tadi ada empat orang, ya?"

"Iya, benar," sahut Pria yang hendak menghubungi polisi. "Mana teman kamu yang satu lagi?!"

Mendengar para pria paruh baya itu mencari keberadaan Himam, pemuda ia semakin berjalan mundur tetapi tiba-tiba ada satu tangan yang menarik tangannya dari sana. Himam hampir berteriak kaget namun, orang itu segera membekap mulutnya kemudian segera menariknya menuju sebuah mobil.

"Cepet masuk!" perintahnya.

Setelah masuk mobil, orang itu menginjak pedal gas lalu pergi dari sana sementara Himam hanya duduk diam seraya masih menetralisir detak jantungnya yang berdegup kencang itu.

"Apa maksudnya kamu sama berandal-berandal itu?!" tanya orang yang tengah mengemudi itu.

"Kamu tau, kalau Ayah enggak narik kamu dari sana, mereka juga akan bawa kamu ke polisi."


-to be continued...

He Is Me | Heeseung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang