•HIM• 17 : Their Time

484 93 6
                                    

     •╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌•

"Hah? Raja ngajak ribut lagi?" tanya Helmi kepada seseorang yang tengah menghubunginya.

Helmi berdecak kesal, "anak itu enggak ada kapok-kapoknya, ya."

"Ya udah, nanti gue ke sana."

Sambungan telepon dimatikan oleh Helmi kemudian ia menatap Sera yang kebingungan. Helmi mengulas senyum kecil seraya mengusap lembut surai gadis di hadapannya.

"Ya udah. Kamu masuk gih, aku harus pergi."

"Sama Raja lagi?" tanya Sera to the point yang langsung di angguki oleh Helmi.

"Di arena balap?" tebak Sera.

"Iya, tapi kamu enggak perlu ke sana, ya?"

Sera menggeleng sebagai jawaban. "Aku ikut."

"Jangan. Sekarang kamu istirahat aja, pasti kamu capek seharian di kampus."

"Tapi ..."

"Jangan khawatir, Ra. Aku bakal baik-baik aja, kok."

Dengan berat hati Sera membiarkan Helmi pergi berkelahi dengan Raja untuk yang kesekian kalinya.

Ketika sudah sampai di arena balap, Helmi berlari menuju jalur paling atas tempat biasa ia berkelahi. Di sana sudah ada teman-temannya yang menunggu dan begitu melihat Helmi datang, Azka segera memberi tongkat baseball kepadanya.

Helmi berjalan mendekat ke arah Raja yang tengah menyilangkan tangan. "Sekarang lo mau cari alesan apa lagi buat ribut?" tanyanya.

Raja hanya tersenyum remeh kepadanya kemudian dagunya tergerak memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera menyerang teman-teman Helmi.

"Mi, lo urus aja si Raja biar temen-temennya kita yang urus!" Azka berseru seraya pegangannya pada tongkat baseball miliknya dipererat dan berancang-ancang sebelum teman-teman Raja menyerang.

Suara gaduh dari tongkat baseball dan balok kayu yang berbenturan langsung terdengar jelas di telinga Helmi kemudian bola matanya bergulir kembali menatap Raja yang masih berdiam diri di hadapannya.

Tangan Raja yang sedaritadi mengepal kuat dan sudah siap untuk meninju Helmi kapan saja itu akhirnya ia layangkan namun, pemuda itu berhasil mengelak dan memberikan pukulan kuat di punggung Raja hingga membuat si empunya berteriak kesakitan.

Raja kembali melayangkan tangannya dan berhasil mengenai tulang pipi Helmi yang masih membiru itu, kemudian kaki kanannya dengan kasar menendang pergelangan tangan kanan Helmi hingga tongkat baseball yang tengah dipegang terjatuh begitu saja.

Tak memedulikan tongkat baseball miliknya yang sudah jatuh, kini Helmi menarik lingkar leher baju Raja kuat-kuat dan memberinya sebuah pukulan di daerah perut. Saat Raja hendak membalas pukulannya, pemuda itu berhasil menahan tangannya.

Sesaat kemudian Raja kembali tersenyum remeh dan menepis tangan Helmi dengan kasar kemudian langkah kakinya berjalan mundur menjauh dari si pemuda. Helmi yang kebingungan dengan pergerakan Raja itu hanya bisa mengerutkan alisnya, apa yang ia lakukan? Apakah Raja sudah menye—

"Arghh..!"

Punggung Helmi mendadak terasa panas dan amat sakit, kedua lututnya pun mulai melemas hingga ia terjatuh usai satu pukulan keras dari tongkat baseball menghujam punggungnya. Dengan pergerakannya yang lambat, kepala Helmi menoleh untuk melihat siapa yang sudah memukulnya.

Belum selesai dengan rasa terkejut akibat pukulan mendadak itu, kini Helmi kembali membulatkan mata kemudian menggeleng-gelengkan kepala tak percaya kala melihat Himam tengah berdiri di dekatnya seraya memegang tongkat baseball milik Helmi.

"Lo ngapain di sini?!" tanya Helmi dengan nada suaranya yang meninggi.

Himam melempar asal tongkat baseball itu dengan kasar kemudian menarik paksa kerah jaket yang Helmi pakai agar dirinya segera berdiri. "Bangun lo!"

"Argh!" Helmi kembali meringis.

"Gue udah bilang sama lo jangan deketin Sera tapi kenapa lo malah pacaran sama dia?!"

"Gue juga udah bilang 'kan kalau kali ini gue enggak akan ngalah dari lo," jawab Helmi.

Himam tertawa remeh. "Seharusnya lo sadar diri, lo tuh enggak pantes bersanding sama dia. Sera anak pinter dan berprestasi sedangkan lo cuma berandalan yang kerjaannya ribut sana sini."

"Gue bisa kasih semuanya ke dia bahkan lebih dari apa yang lo kasih ke dia jadi, mending lo jauhin dia," lanjut Himam.

"Lo mau kasih dia materi?" tanya Helmi diakhiri dengan seringainya. "Dia enggak butuh materi. Sera cuma butuh kebebasan, perhatian, dan kasih sayang sedangkan lo enggak akan bisa kasih itu."

Cengkeraman Himam pada jaketnya ia tepis dan kini Helmi yang berbalik mencengkeram baju Himam.

"Himam, lo itu sama aja kayak ayah. Cuma bisa nuntut dan apa yang lo mau harus terjadi tanpa mikirin perasaan orang-orang di sekitar lo. Kalau lo beneran sayang sama Sera seharusnya lo bisa ngerti dari matanya kalau yang dia butuhin itu cuma hal-hal sederhana."

"Dia udah cukup ditekan sama ayahnya yang mengharuskan dia buat jadi yang terbaik di manapun dia berada. Gue akuin lo berhasil bikin dia kayak apa yang ayahnya mau, tapi kehadiran lo ini sama sekali enggak berpengaruh sama perasaan dia."

"Itu yang bikin Sera enggak bisa suka sama lo meskipun lo udah ngerubah penampilan jadi sama persis kayak gue. Biarpun lo berpenampilan kayak gue, lo itu tetep Himam dan bukan gue."

Napas Himam menjadi sesak usai mendengarnya, dirinya bagai tak dapat berkutik lagi.

"Gue emang berandalan yang cuma tau gimana caranya ribut tapi gue tau mana yang salah dan bener. Gue juga ngerti gimana perasaan orang-orang yang ada di sekitar gue, gue gak egois dan gue bertindak bukan buat kesenangan sendiri tapi buat orang lain juga."

Semua itu diucapkan Helmi dengan penuh penekanan hingga membuat Himam tertunduk bak keberaniannya setelah memukul Helmi kini lenyap. Helmi memang tak memukulnya dengan tenaga tapi ia berhasil membuat Himam tertampar keras lewat perkataannya.

"Himam, lo udah dewasa dan seharusnya lo udah bisa ngerti yang mana cinta dan yang mana obsesi."

Himam tersentak lantas pandangannya terangkat menatap kakaknya itu dengan marah, tak terima bahwa rasa yang ia miliki untuk Sera hanya sebuah obsesi. Ia menepis kasar kedua tangan Helmi yang masih mencengkeram bajunya, Himam melayangkan satu pukulan untuk Helmi tepat di bagian rahang dan membuat pemuda itu terhuyung hingga jatuh.

Langkah kaki Himam berjalan mendekati tongkat baseball dan mengambilnya kemudian di angkat ke arah Helmi yang masih terduduk diam menunduk.

Bugh!

"Akh!"

Ngiiiinggg...

Helmi membulatkan mata sempurna ketika tiba-tiba seseorang memeluk dirinya sedangkan Himam kembali menjatuhkan tongkat baseball tersebut, kedua tangannya beralih gemetar.

"Sera!" Helmi berteriak.

"S-Sera," ucap Himam dengan nafasnya yang serasa semakin sesak.

Sera terjatuh di pangkuan Helmi dengan pandangannya yang mulai kabur disertai cairan kental berwarna merah keluar dari salah satu hidungnya.

"Sera, jangan tutup mata! Buka terus mata kamu!" perintah Helmi seraya menepuk-nepuk pipi gadis itu.


-to be continued...

He Is Me | Heeseung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang