•HIM• 20 : After Long Time

490 86 2
                                    

•╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌•

"Helmi, kamu tenang dulu, ya?" ujar Sera.

Sejak tadi Helmi terus saja gelisah setelah mendengar semua cerita dari Sera perihal dirinya yang bertemu Himam kemarin malam ditambah lagi hari sudah sangat sore namun, Himam belum menghubungi Sera sama sekali.

Tangan kanan Sera terangkat kemudian mendengarkan suara sambungan telepon dari handphonenya dan berharap orang yang tengah dihubunginya itu menjawab panggilan.

Sera beralih berdecak. "Masih enggak di angkat," keluhnya.

"Himam kenapa, ya? Tega banget ayah sampe ngebuat dia pindah kuliah." Helmi berujar. "Terus Himam mau ketemuan di mana?"

Dirinya benar-benar khawatir akan keadaan Himam saat ini begitu tahu ayahnya telah memutuskan untuk mengirimnya pindah Universitas lantaran alasan yang menurutnya sudah basi tersebut.

"Helmi kamu tenang, mungkin Himam sekarang lagi sibuk. Dia pasti bakal hubungin aku, kita tunggu aja, ya?" ujar Sera seraya mengusap bahu Helmi.

Ting!

Bunyi notifikasi itu sontak membuat Sera dan Helmi menoleh bersamaan ke arah handphone Sera.

"Dari Himam," ucap Sera.

Gadis itu segera membuka pesan singkat yang baru saja Himam kirim kemudian dilihatnya pemuda itu mengiriminya sebuah titik tempat.

"Ini stasiun, 'kan?" tanya Sera memastikan.

Helmi mengangguk cepat, "iya, ini stasiun."

"Ayo, kita ke sana," ucap Helmi dan langsung diangguki oleh gadis itu.

•••

Setelah sampai di stasiun kereta sesuai titik yang dikirim oleh Himam, Sera dan Helmi berlarian mencari pemuda itu. Sesekali Sera melihat layar handphonenya dan melihat di mana titik Himam sekarang.

"Ke sana," ucap Sera.

Keduanya saling bergandengan tangan seraya bola mata masing-masing sibuk mencari keberadaan Himam di antara orang yang berlalu lalang.

Ketika sampai di dekat titik yang diberikan Himam, Sera dan Helmi melihat Himam di sana tengah berdiri di samping sebuah koper. Helmi segera berlari menghampiri Himam, bola matanya tak kuasa untuk menahan air mata yang sedang ia tahan sedaritadi karena merasa cemas akan adik laki-lakinya itu.

Himam menatap Helmi yang berdiri di hadapannya seraya tersenyum. Senyumannya kali ini bukanlah senyuman menyeringai atau bahkan menantang seperti tempo hari, melainkan senyum yang bersahabat dan sangat hangat.

Mereka menatap satu sama lain dengan perasaan keduanya yang berkecamuk, rasa rindu yang selama ini mereka tanam untuk satu sama lain akhirnya bisa mereka bagi bersama tanpa adanya adu kekuatan.

Dengan cepat Helmi memeluk Himam, ia mencoba menyalurkan rasa rindu kepada saudaranya. Sifat ego dari ayah mereka telah menyebabkan keduanya berpisah selama bertahun-tahun dan Himam sendiri bahkan selalu memikirkan bagaimana Helmi hidup sendirian di luar sana.

Bagaimana Helmi makan, bagaimana Helmi tidur, Himam hanya memikirkan keadaan kakak laki-lakinya itu. Berpisah dari saudara sendiri memang sangat menyedihkan terlebih lagi jika perpisahannya terkesan dipaksa.

Keduanya saling berpelukan dengan erat dengan isak tangis keduanya yang tertahan. Suasana senja yang hampir hilang di sana seakan semakin mendramatisir kejadian di hadapan Sera, gadis itupun berkali-kali menyeka air matanya.

Helmi melepas pelukannya dan menyeka air mata yang jatuh di pipi Himam kemudian sekelebat timbul rasa canggung di antara mereka berdua yang membuat keduanya sama-sama tertawa.

Himam mengerutkan alisnya seraya melihat luka di tulang pipi sebelah kanan Helmi. "Sorry."

Helmi hanya menggeleng sebagai balasan.

"Helmi, gue minta maaf buat semuanya. Gue sadar kalau gue udah salah, seharusnya gue enggak bertindak kayak gitu."

"Udah, gue udah lupain semuanya, kok. Maafin gue juga ya karena udah mukul sama ngomong kasar sama lo."

"Lo enggak perlu minta maaf, gue bahkan mau berterima kasih. Mungkin kalau lo enggak ngomong semua itu, gue enggak akan bisa sadar." Himam terdiam sebentar. "Oh iya, gue mau bilang sesuatu sama lo."

"Iya, apa?"

"Lo pasti udah dengar cerita dari Sera kalau gue bakal pindah Universitas, 'kan? Jadi sekarang gue di sini."

Penuturan Himam itu langsung membuat kedua bola mata Helmi membulat. "Lo pindah secepet ini?"

Himam mengangguk. "Ayah udah ngurus semuanya, lebih cepat lebih baik katanya," ujarnya di akhiri senyum kecut.

"Ayah masih belum berubah, ya?"

"Udah lo jangan khawatirin itu, nanti seminggu sekali gue bakal nemuin lo di sini. Oh iya, kata Sera lo ngambil progam beasiswa itu, 'kan?"

Helmi menoleh sebentar ke arah Sera lalu ia mengangguk.

Himam tersenyum, "lo tenang aja, nanti gue sama Sera bakal bantuin lo belajar. Lo pasti bisa dapet beasiswa itu."

Helmi hanya mengangguk-angguk seraya tersenyum. "Ayah pasti ada disini juga, 'kan?" tanyanya.

Himam menggeleng, "gue cuma sendiri. Ayah enggak akan ikut gue buat pindah juga."

"Lo bakal tinggal sendiri?!" tanya Helmi setengah terkejut dan dibalas anggukan oleh Himam. "Himam, gimana lo bisa hidup sendirian di sana?"

Himam tertawa kecil. "Kalau lo aja bisa hidup sendirian bertahun-tahun kenapa gue enggak bisa, Mi?"

Helmi tertawa mendengar jawaban adik laki-lakinya itu.

"Helmi, gue janji bakal bikin kepercayaan ayah sama lo balik lagi."

"Jangan, Mam. Beliau udah enggak nganggep gue dan semenjak ibu meninggal enggak ada yang sayang sama gue lagi. Sekarang gue bener-bener cuma punya lo."

"Mi, gue pasti bisa kok ngeyakinin ayah."

"Enggak usah. Mending lo fokus sama tujuan lo sekarang, gue percaya lo bisa banggain ayah dan seenggaknya salah satu anaknya bisa bikin beliau bangga."

"But you deserve it too."

Helmi tersenyum kecut, "I'm not deserve anything from him."

"No! Gue bakal tetap yakinin ayah dan tolong jangan nolak."

Jika soal berdebat Himam ini memang akan selalu ingin menang dan akhirnya Helmi mengangguk menyetujui. Tak lama, kereta yang akan dinaiki Himam sudah tiba dan kini pintunya terbuka lebar di hadapan mereka bertiga.

"Ya udah, gue pergi sekarang, ya."

"Hati-hati."

Himam mengangguk kemudian dirinya kembali memeluk Helmi dan bagai tak ingin berpisah lagi Himam memeluknya dengan erat.

Begitu hendak pergi atensinya tertuju kepada Sera yang tengah berdiri di samping Helmi. Sera adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki sejak Sekolah Menengah Atas dan selama ini hanya Sera yang menjadi tempatnya bercerita ataupun sebaliknya.

Dengan meninggalkannya sendirian bagaimana gadis itu akan menghadapi masalahnya dan siapa yang akan membantunya belajar nanti.

Melihat adik laki-lakinya itu menatap Sera, tangan Helmi terangkat untuk merangkul bahu gadis itu kemudian menatap Himam seakan meyakinkannya bahwa Sera akan baik-baik saja bersamanya. Himam tersenyum lega lalu segera masuk ke dalam kereta tujuannya.

Helmi dan Sera masih di sana menatap kereta yang dinaiki Himam semakin lama semakin menjauh. Sera pun mengusap bahu Helmi seraya tersenyum untuk menenangkannya begitu melihat mata pemuda itu kembali berkaca-kaca.



-to be continued...

He Is Me | Heeseung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang