Dingin sepi menyelimuti malam penuh lara. Langit gelap tanpa sang bulan dan kawanan bintang menyuarakan gemuruh sebelum disusul kilat dan petir. Mata jernih menyerupai bentuk kacang almond itu memandang jauh ke halaman rumah dari balkon, tepatnya menatap punggung seorang laki-laki yang tengah berjalan keluar area rumah.
Gadis berusia sebelas tahun itu menggelengkan kepalanya. Tiga langkah mundur diambilnya sebelum tubuhnya berbalik dan kemudian berlari sambil berharap bisa menyusul sang kakak. Pencahayaan yang kurang membuat pandangannya terbatas, namun gadis itu tetap berlari dengan gigih. Tidak peduli berapa kali kakinya menabrak benda-benda yang ada dalam rumah.
Pintu utama rumah dalam keadaan sedikit terbuka, sehingga gadis itu bisa keluar dengan lancar. Diliriknya pos keamanan, untungnya, satpam yang berjaga tertidur sangat lelap dan tampak tak akan bangun sekalipun ada pentas drumband di sekitarnya. Pantas saja kakak laki-lakinya bisa keluar dengan mudah.
Gadis bernama Zelta itu berhasil melewati gerbang dengan wajah kelelahan. "Kakak! Kak Zion!" panggilnya dengan bulir bening mengalir di kedua pipinya.
Yang dipanggil menoleh sekilas sambil tersenyum penuh sesal. Namun setelahnya, laki-laki bernama Zion itu tidak menggubris adiknya lagi. Dengan gerakan cepat ia masuk ke dalam mobil temannya, dan mobil tersebut segera melaju.
Tetapi Zelta masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Dia terus berlari dengan kaki telanjang. Meski mustahil, namun ia tidak berhenti berharap bisa mengejar mobil itu.
Brukk
Zelta terjatuh dengan posisi tengkurap. Kepalanya mendongak, menatap nanar mobil yang mulai lepas dari jangkauan pandangannya. "Kakak...." Gadis itu berkata lirih.
Zelta mengesampingkan rasa sakit di lutut. Ada desakan pilu memenuhi rongga dadanya, rasanya sesak, seakan ada seseorang yang menginjak dadanya sehingga membuatnya sulit bernapas.
Satu-satunya orang yang bisa ia andalkan kini telah pergi, membiarkannya berjuang sendirian untuk bertahan dari pusaran kepedihan. Mulai saat ini, dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Suara gemuruh kembali terdengar. Sedetik setelahnya, bulir air jatuh dari langit, membasahi sedikit demi sedikit tubuh gadis itu. Semakin lama bulir air itu semakin tebal dan jatuh dengan kasar. Ditambah dengan hembusan angin yang sanggup membuat tubuh Zelta menggigil.
Zelta terduduk di tanah basah, rambutnya yang sebelumnya terikat kini terurai dan basah oleh hujan deras. Wajahnya dipenuhi rona kesedihan, dan matanya yang pernah bersinar kini redup. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin fisik yang menusuk tulang, tetapi juga dinginnya kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun. Air mata bercampur dengan tetesan hujan, mengalir di pipi Zelta yang kemerahan. Ia merangkak sejenak, mencoba merangkum getir dalam kehampaan, karena kakaknya telah menjauh, membawa sebagian besar kehangatan dan keamanannya bersamanya. Zelta merasakan kesendirian yang mendalam di tengah hujan yang semakin deras, sebagai simbol kepedihan yang mengalir dalam hatinya.
****
Pendek soalnya cuma prolog.
Eh iya, selamat datang di cerita baru aku, selamat membaca!
Semoga cerita ini bisa aku tulis sampai tamat .
Aku minta tolong banget sama kalian untuk aktif memberikan komentar dan vote ya. Your feedback gives me even more motivation to continue this story😫
Sampai ketemu di chapter 1.
Semoga suka!
KAMU SEDANG MEMBACA
Zelta's Hatred
Teen Fiction"Gue nggak jahat, gue cuma mau dapetin apa yang saharusnya gue miliki." *** Genre : Drama, Romance. Start : 12 Juli 2021 End : - Yang plagiat pantatnya bisulan. t i t a h g a y a t r i Cover : pinterest