09

895 94 8
                                    

Jay memperhatikan para PMR yang tengah menangani kaki Zelta yang keseleo, kemudian beralih melihat wajah Zelta yang tampak kesakitan. Ringisan beberap kali terdengar dari mulut cewek itu. Saat PMR menyelesaikan tugasnya, Jay tidak bisa menahan tawa mengejek. "Pacar lo ada di brankar paling ujung, lagi nemenin cewek lain, tuh," kompornya.

Tatapan tajam dilepar Zelta untuk Jay. Kulit wajahnya nampak memerah, menandakan emosinya sudah naik ke ubun-ubun. Namun tak berlangsung lama, kulit wajahnya kembali normal dalam hitungan kurang dari tiga puluh detik. "Nggak pa-pa," sahutnya.

Jay kembali tertawa, menyadari emosi yang ditunjukkan Zelta beberapa detik yang lalu. Dia mengagumi kecepatan cewek itu dalam mengatur emosi dan mimik wajahnya.

tirai yang menutupi brankar Zelta terbuka, seseorang yang masuk mengalihkan perhatian dua orang itu. Tampak Rayan menghampiri Zelta dengan ekspresi khawatir. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya.

Zelta menarik sudut bibirnya sembari mengangguk. "Nggak pa-pa, jangan khawatir," jawab Zelta, menyadari kekhawatiran dalam raut wajah Rayan.

Rayan menjatuhkan tatapannya pada cowok yang sedari tadi menemani pacarnya. Dengan suara pelan ia berkata, "Thanks udah bantu cewek gue, dan maaf karena tadi gue kasar."

Jay hanya menarik sebelah sudut bibirnya, mimik wajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak membutuhkan ucapan maaf dan terima kasih dari Rayan. Hal itu sukses membuat Rayan kesal karena merasa kata maaf dan terima kasih yang ia ucapkan dengan tulus tidak dihargai.

"Udah sadar? Kasih air hangat." Suara berisik dari luar berankar Zelta membuat Rayan buru-buru keluar dan menghampiri Tessa yang berada di brankar paling ujung. Zelta yang ditinggal begitu saja tidak bisa menahan amarahnya. Ditambah lagi ketika ia menyadari kekhawatiran di wajah Rayan bukan ditunjukkan untuknya, melainkan untuk Tessa yang sempat tak sadarkan diri.

Lagi-lagi Jay melihat betapa menyedihkannya cewek yang diagung-agungkan di SMA Dalton itu. Jay sama sekali tidak merasa simpati, malah untuk yang kesekian kalinya terdengar tawa mengejek dari mulutnya.

Tentu perasaan kesal menghampiri Zelta ketika lagi-lagi ia menerima ejekan dari Jay. Cewek itu mendongak sedikit untuk menatap langsung ke dalam manik mata Jay.  "Makasih, ya," ucap Zelta dengan penuh penekanan.

"Nggak perlu, perlunya traktir gue pulang sekolah."

"Hah?"

"Di Cafe yang waktu itu." Jay sedikit menengok ke belakang, menyadari ada suara langkah kaki yang tengah mendekati brankar. "Gue tunggu pulang sekolah," ucapnnya sebelum akhirnya pergi, meninggalkan jejak kebingungan di wajah Zelta.

Jay berpapasan dengan Abey dan Amey. Tanpa repot menyapa ia melewati si kembar begitu saja.

Abey dan Amey menghampiri Zelta dan menanyakan kondisinya dengan penuh kekhawatiran. "Rayan mana? Bisa-bisanya dia ninggalin lo!" kesal Abey.

Zelta kesal saat mendengar nama Rayan disebut sebab mengingatkannya dengan dua kejadian menyebalkan yang baru saja ia alami hari ini. Tidak ingin emosinya meluap, ia mengalihkan topik dengan berkata, "Gue mau ke kelas, nanti ketinggalan pelajaran Pak Heda."

"Zel, kaki lo tuh lagi bengkak!"

"Tapi gue nulis pake tangan, mikir pake otak, liat pake mata. Nggak ada hubungannya kaki bengkak sama pelajaran!"

Abey menghembuskan napas pasrah, Zelta memang orang yang serajin itu. Dia tidak pernah bolos dalam pelajaran apa pun karena takut ketinggalan. "Ya udah, sini kita bantu," ucap Abey pada akhirnya. Dia dan kembarannya segera membantu Zelta untuk turun dari brankar, kemudian mereka memapah Zelta hingga sampai di kelas.

Zelta's HatredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang