11

1.4K 108 38
                                    

Sepulang dari cafe Zelta tidak langsung beristirahat. Ia mandi, menyiapkan buku-bukunya, lalu bersiap untuk mengikuti bimbingan belajar secara daring. Bisa dikatakan ia orang yang ambisius di bidang akademik. Tapi itu dilakukannya agar ayahnya bangga padanya, agar kekuarganya kembali seperti dulu.

Zelta belajar dengan fokus, beberapa kali gurunya memujinya berkat kecerdasannya yang dinilai luar biasa. Dia memang terlahir cerdas, namun ketekunannya dalam belajar membuatnya semakin cerdas. Tidak heran Zelta tidak pernah merasakan bagaimana mendapat nilai di bawah rata-rata.

Saat sesi bimbingan belajarnya berakhir, Zelta meraih ponselnya dan melihat semua notifkasi pesan yang masuk. Namun, tidak ada satupun notifikasi pesan dari Rayan. Hal itu membuatnya agak kecewa. Zelta menaruh kembali ponselnya dan melihat kalender kecil yang ada di atas meja belajarnya. Matanya terbelalak ketika melihat tanggal yang jauh-jauh hari ia lingkari kini tinggal seminggu lagi.

Zelta segera beranjak dan mengambil sesuatu di sebelah lemarinya. Sebuah canvas berukuran kecil dengan lukisan wajah ayahnya yang belum selesai. Cewek itu melirik jam sekilas, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah waktunya untuk tidur, namun Zelta memilih melanjutkan lukisannya.

Di tengah-tengah kegiatannya, Zelta ingin beristirahat sejenak dengan memejamkan mata, hingga tak sadar ia tidur sepanjang malam dan bangun saat bulan tak nampak lagi.

***

Pak Adinata berhalangan hadir hari ini sehingga semua kelas yang diajarnya diminta untuk berdiskusi secara berkelompok tentang tugas yang diberikannya beberapa hari lalu. Zelta dan teman kelompoknya berdiskusi di dalam kelas, mereka saling mendekatkan bangku dan duduk merapat.

"Materi kita cuma empat, sih, tapi agak susah.  Sesuai kesepakatan kemarin kita kerjainnya bareng, ya? Ada yang mau ngusulin tempat nggak?" tanya Aina.

"Mau di cafe?" tanya Rayan.

"Boleh, tuh. Tapi jangan di El Cafe, bosen." Aina diam sejenak untuk berpikir, kemudia matanya berbinar. "Di Cafe In aja, di sana bagus, cocok juga untuk belajar. Gimana, mau?"

"Mau! Gue sempet liat di instagram, kayaknya bagus, deh!" cetus Tessa terlihat antusias.

Melihat Tessa seantusias itu membuat Rayan tanpa sadar menarik sudut bibirnya. Wajah polos Tessa yang tersenyum merupakan pemandangan favoritnya sedari dulu. Cewek itu memiliki vibes yang ceria sehingga mampu membuat orang sekitarnya ikut merasakan keceriaannya. "Gue setuju."

Zelta melihat betapa terpesonanya Rayan ketika melihat senyum di wajah Tessa. Ia membuang muka, tidak ingin melihat pemandangan memuakkan itu lebih lama. Tapi justru hal itu membuatnya tak sengaja menatap Jay yang kebetulan tengah menatap Tessa dan Rayan.

Wajah cowok itu tampak santai, seakan interaksi Tessa dan Rayan tidak ada hubungannya dengannya. Padahal Tessa merupakan calon tunangannya. Zelta bertanya-tanya, apakah Jay sedikit pun tidak merasa kesal?

Tak terduga, Jay tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke Zelta, membuat Zelta tersentak karena terkejut. Jay yang melihat cewek itu terkejut tidak bisa menahan senyumnya. Ternyata Zelta bisa terlihat sekonyol itu.

Di sisi lain, Rayan yang sudah tidak menatap Tessa lagi kini menatap Jay dan Zelta secara bergantian. Keningnya membentuk beberapa lipatan, sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan yang khusus ditunjukkan pada Jay. Beberapa kali ia perhatikan, anak baru itu nampaknya tertarik dengan Zelta. Paling jelas ketika saat jam pelajaran olahraga; Jay dengan lancang melingkarkan tangannya di pinggang Zelta.

"Gue mau ke toilet dulu, ya," Tessa berceletuk di tengah diskusi kelompok. Aina mengangguk dan membiarkannya pergi ke toilet. Selang beberapa detik setelah kepergian Tessa, Zelta turut izin ke toilet. Sesampainya di toilet, Zelta melihat Tessa memasuki bilik paling pojok. Dengan langkah terpincang ia membuka satu per satu pintu bilik yang lain, memastikan tidak ada orang lain selain mereka di toilet itu.

Zelta's HatredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang