Zelta celingak-celinguk di area drop-off, mencari mobil BMW putih yang biasanya dipakai Pak Wawan untuk menjemputnya. Namun, mobil itu tidak tampak di mana pun. Ia merogoh saku kemeja untuk mengambil ponsel. Pesan tak terbaca dari Pak Wawan langsung ia buka.
Pesan itu menjelaskan bahwa Pak Wawan tidak bisa menjemput Zelta tepat waktu karena Robi memberikannya tugas lain, dan mungkin Pak Wawan baru bisa menjemput sekitar satu setengah jam kemudian. Zelta menghembuskan napas, mau tidak mau dia harus menunggu. Ia memutuskan untuk menunggu di cafe yang ada di seberang sekolah.
Zelta berjalan ke gerbang utama sekolah. Suasana di sana tampak ramai, dipenuhi hiruk-pikuk siswa yang baru pulang sekolah. Ia melihat ke kanan dan ke kiri sebelum menyebrang di jalur zebra cross. Saat dirasa aman, Zelta melangkah dengan mantap.
Namun, tiba-tiba sebuah sedan hitam melaju dengan cepat, seakan hendak menabraknya. Rasa kaget membuatnya membeku, tidak dapat bergerak. Untungnya, seseorang menarik ranselnya sehingga ia berhasil menghindar. Sepertinya Tuhan masih ingin melindungi nyawanya.
"GOBLOK!" teriak Abey yang ditunjukkan untuk pengemudi yang hampir menabrak Zelta. Pengemudi itu tampak tidak menghentikan kendaraannya meski tahu ia hampir saja menabrak seseorang.
"Lo nggak pa-pa, Zel?" tanya Amey.
Kejadian itu terlalu cepat, membuat Zelta sejenak tak bisa mengatasi keterkejutannya. Napasnya menjadi tidak teratur, menghirup dan menghembuskan napasnya dengan terburu-buru.
Perhatian orang-orang mengarah ke Zelta. Beberapa dari mereka melihat kejadian itu, sementara yang lain tertarik karena mendengar suara teriakan Abey.
Napas Zelta mulai teratur dan ia mulai tenang. "Gue nggak pa-pa," sahutnya meski wajahnya masih terlihat agak linglung.
"Gila ya tuh orang! Tadi gue liat mobilnya parkir di sana, tapi pas lo mau nyebrang, dia langsung tancap gas," cetus seseorang yang melihat kejadian itu.
"Serius? Wah, orang gila!" seru Abey dengan nada kaget dan heran. "Lo liat siapa yang nyetir?"
"Kalau nggak salah, sih, yang nyetir cewek, tapi gue nggak kenal."
Sekilas, Zelta juga melihat wajah pengemudi tersebut—seorang wanita yang tak familiar. Jika wanita itu memang berniat menabraknya, kira-kira apa alasannya? Zelta bahkan tidak tahu siapa wanita itu, jadi agak mustahil Zelta memiliki masalah pribadi dengannya.
"Zelta, lo juga liat?"
"Sekilas."
"Lo kenal?"
Zelta menggeleng.
"Beneran orang gila! Nggak kebayang kalau reflek Amey jelek, bisa-bisa lo ketabrak!"
"Makasi ya." Zelta melihat kekhawatiran di wajah teman-temannya, dengan cepat ia tersenyum. "Gue udah nggak pa-pa."
"Lo mau kemana? Supir lo di mana? Bukannya biasanya dijemput supir di area drop-off ?" tanya Abey.
"Gue mau ke cafe seberang sebentar. Supir gue ada urusan jadi telat jemput, jadi mau nunggu di sana aja."
"Mau kita temenin?" tawar Amey.
Zelta menggeleng. Ia tahu bahwa dua temannya itu memiliki agenda lain sepulang sekolah. "Gue cuma nunggu sebentar."
"Kalau gitu kita bantuin nyebrang." Abey mengapit lengan Zelta, diikuti Amey yang juga sigap mengapit lengan Zelta yang satunya.
Zelta tergelak melihat kekompakan si kembar. Ia menyebrang dengan kedua lengannya yang diapit. Anak kecil yang kesulitan menyebrang pun tidak akan diperlakukan seprotektif ini.
***
Zelta baru tiba di rumah pukul 8 malam. Dengan wajah lelah, ia melangkah masuk ke dalam rumah, melewati ruang keluarga, yang mana duduk seseorang yang paling ingin ia hindari saat ini. Zelta menghembuskan napas lelah, mencoba untuk mengabaikan keberadaan Tessa sebab tak ingin terlibat interaksi apa pun dengannya. Sayangnya, Tessa tidak mengerti pengabaian itu. Cewek itu malah berdiri di depannya, membuat langkahnya terhenti.
"Maaf." Itu merupakan kata pertama yang Tessa ucapkan dengan wajah bersalah. "Gue nggak bermaksud ngadu ke Rayan. Gue cuma pengen punya temen curhat."
Mendengar itu, Zelta sedikit tersulut emosi. "Kenapa harus Rayan yang jadi temen curhat lo? Apa karena dia mantan lo?" tanyanya dengan nada tajam.
"Gue cuma ngerasa Rayan yang paling kenal gue. Itu buat gue ngerasa nyaman kalau cerita sama dia. Gue tau gue salah. Maaf. Gue bakal berusaha jauhin dia. Gue janji."
Zelta sama sekali tidak merasa perasaannya tenang saat mendengar janji Tessa, sebab ia yakin janji itu akan menjadi omong kosong.
"Lo masih ada rasa, kan, sama Rayan?" tanya Zelta yang sama sekali tidak mendapat respon dari Tessa. Zelta meremas ujung roknya, sudah bisa menyimpulkan jawabannya tanpa konfirmasi dari Tessa. "Rayan pacar gue. Gue harap lo bisa ngerti sama tiga kata itu." Zelta kemudian berjalan melewati Tessa dengan sedikit menyenggol bahu cewek itu.
Tessa berbalik untuk melihat Zelta yang berjalan semakin jauh. Ia menghembuskan napas frustrasi, berjalan sedikit ke sofa, lalu menghempaskan tubuhnya ke atasnya. Pandangannya mengarah ke coklat di atas meja. Coklat yang tadinya hendak ia berikan kepada Zelta sebagai bentuk permintaan maaf. Dalam situasi tadi, memberikan Zelta coklat mungkin hanya akan membuatnya melempar coklat itu.
Sejujurnya, ia sadar bahwa masih memiliki perasaan kepada Rayan itu tidak benar. Tetapi, semua itu di luar kendalinya. Sebesar apa pun usahanya menghentikan perasaannya, perasaan itu malah tumbuh semakin kurang ajar.
Sementara itu, Zelta terus berjalan ke kamarnya dengan hatinya yang masih bergejolak. Setibanya ia di kamar, ia melempar ranselnya ke sofa dan langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Pikirannya melayang pada hubungan Tessa dan Rayan. Kira-kira seperti apa hubungan mereka dulu? Apakah hubungan mereka terjalin begitu erat sampai-sampai mereka tidak bisa melupakan satu sama lain? Kalau memang iya, mengapa hubungan itu berakhir?
Bagaimanapun juga, Zelta tidak bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya hanya dengan menduga-duga. Itu hanya membuatnya merasa frustrasi karena tidak bisa memvalidasi dugaannya.
Tessa sudah mengambil ayahnya darinya; apakah dia akan mengambil Rayan juga?
Ah...
Pemikiran itu terlintas begitu saja di benaknya. Sungguh, Zelta sama sekali tidak ingin terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang akan membuatnya menambah beban emosional yang ia rasakan.
Zelta melirik ke arah meja belajar, di mana buku pelajaran yang menumpuk sudah menunggu untuk dibuka. Ia bangkit dan segera menuju meja belajar, memutuskan untuk mengulas kembali materi yang baru saja diberikan di tempat bimbingan belajar. Dengan cara itulah Zelta bisa mengalihkan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang tidak ingin ia pikirkan.
***
Jangan lupa komen ya!
Semoga sukaa!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Zelta's Hatred
Teen Fiction"Gue nggak jahat, gue cuma mau dapetin apa yang saharusnya gue miliki." *** Genre : Drama, Romance. Start : 12 Juli 2021 End : - Yang plagiat pantatnya bisulan. t i t a h g a y a t r i Cover : pinterest