12

412 40 12
                                    

Rayan menunggu dengan tegang di rooftop gedung sekolah, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang ingin dia ungkapkan kepada Zelta. Saat Zelta akhirnya tiba, Rayan berbalik dengan ekspresi serius. Zelta tidak mengetahui apa yang sedang berkecamuk di pikiran Rayan, namun apa pun itu, perasaan tidak nyaman mulai mengisi relung hatinya.

"Maaf nyuruh kamu ke sini tiba-tiba." Suara Rayan terdengar ragu, namun ia tetap melanjutkan, "Tapi ada yang mau aku tanya ke kamu," ujarnya.

"Apa?"

"Kenapa kamu nyuruh Tessa buat keluar dari kelompok?" Setelah mengumpulkan keyakinannya, Rayan mantap bertanya meski ia tahu pembahasan ini akan menimbulkan konflik kecil dalam hubungannya dengan Zelta.

"Nyuruh? Aku nggak nyuruh, aku ngasih saran. Menurutku, kelompok kita kebanyakan anggota, lebih adil kalau Tessa ada di kelompok Daffa yang materinya lebih kompleks. Tapi kalau Tessa keberatan, ya ngga masalah. Dia bisa tetep ada di kelompok kita." Zelta menjelaskan dengan tenang meski perasaannya berkecamuk. Tampaknya, Rayan lebih memilih untuk berdiri di sisi Tessa.

"Oke..., jadi keputusannya Tessa tetep ada di kelompok kita."

Zelta mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia tidak masalah dengan keputusan itu, walau kenyataannya tidak demikian.

"Terus juga kenapa kamu bilang kamu nggak mau akrab sama dia? Kamu tau nggak, karena kata-kata kamu, dia nangis di toilet. Aku nggak nyangka kamu bisa ngomong sejahat itu."

Zelta mengernyit. "Sebenernya tujuan kamu ngomong kayak gini ke aku itu untuk apa? Kamu ngelabrak aku untuk belain Tessa?"

Rayan gelagapan. la tidak langsung menjawab, tampaknya berpikir sejenak agar tidak salah bicara. Setelah dirasa yakin, barulah ia berani membuka mulutnya. "Tessa itu mantan aku," ungkapnya.

Raut wajah Zelta tidak berubah, menunjukkan bahwa cewek itu sudah tahu kebenarannya. Rayan menghela napas sebelum kembali bicara, "Kamu udah tau, kan? Apa karena alasan itu kamu nggak suka sama Tessa?"

"Jadi kamu memang lagi ngabrak aku untuk belain mantan kamu, ya?" Zelta menyimpulkan sambil sedikit menahan tawa. Tidak ada yang lucu, ia hanya menertawakan situasinya saat ini.

"Nggak gitu. Aku cuma berharap kamu bisa baik ke Tessa. Kalian kan sau... ah." Rayan tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia tampak gugup. "Kalian kan bakal jadi temen sekelas beberapa tahun kedepan," katanya yang kemudian diikuti dengan dehaman pelan.

Tidak ada reaksi apa pun selama beberapa saat. Zelta hanya menatap Rayan dalam diam dengan raut wajah yang tak terbaca. "Kenapa aku harus baik ke dia?" tanyanya, lebih terdengar seperti gumaman.

"Apa harus ada alasannya? Kamu kan selalu baik ke semua orang, kenapa nggak bisa perlakuin Tessa sama kayak yang lain."

Tentu saja, Zelta memiliki alasan besar mengapa ia tidak bisa berpura-pura baik di depan Tessa. Walaupun demikian, setidaknya ia tidak mengusik cewek itu. Tapi dijelaskan pun, Rayan tidak akan mengerti. Karena tidak ingin memancing pertengkaran, Zelta hanya tersenyum sambil menjawab, "Maaf, aku cemburu liat kamu sama dia. Jangan khawatir, aku bakal berusaha perlakuin dia sama kayak yang lain."

Rayan menghela napas lega. "Kamu tenang aja, pacar aku sekarang itu kamu. Kamu jangan cemburu lagi, ya."

Zelta memaksakan senyumnya. "Kamu balik ke kelas duluan aja, aku masih mau sendiri"

Rayan mengangguk kemudian berjalan melewati Zelta. Saat melewati pintu rooftop, ia berpapasan dengan Jay. "Ngapain lo?" tanyanya dengan raut wajah tak suka.

Jay menunjukkan rokoknya yang sudah menyala, menjelaskan bahwa ia ke sini untuk merokok.

Rayan melihat ke arah rokok itu, kemudian menengok ke belakang untuk beralih melihat Zelta yang sedang membelakangi mereka. "Jangan deket-deket sama cewek gue."

Jay ketawa karena peringatan itu tidak terdengar seperti peringatan, yang apabila dilanggar pun tidak akan berdampak padanya.

Rayan menyadari cowok itu memang selalu bereaksi menyebalkan ketika ia sedang serius. Tidak ada bagusnya bicara dengan orang semacam itu lebih lama lagi, jadi ia segera beranjak dari tempat itu.

Jay berjalan ke rooftop dan berhenti di dekat pembatas, tepat di sebelah Zelta. Tampak cewek itu sedikit melirik sebelum mulai bicara. "Udah sejauh mana yang lo denger?"

"Tau dari mana gue dengerin kalian?" tanya Jay.

Zelta sedikit menggerakkan tubuhnya menghadap Jay, namun matanya seperti tengah menunjuk batang rokok yang diapit Jay di antara jarinya. Batang rokok itu terlihat sudah tinggal setengah, yang artinya sudah menyala sedari tadi. Perjalanan ke rooftop melewati ruang guru, kemungkinannya kecil jika Jay menyalakan rokok itu di bawah, kemungkinan cowok itu menyalakan rokoknya saat sudah berada di tangga rooftop.

Jay ikut melihat rokoknya, kemudian ia mengerti. "Nggak banyak," jawabnya meski agak terlambat.

"Lo sengaja nguping?"

"Kayak nggak punya kerjaan aja. Gue cuma nggak mau motong obrolan kalian," sahutnya. Bayangkan jika Jay datang ditengah-tengah perbincangan serius itu, suasananya mungkin akan rusak.

Jay mengapit rokoknya di antara bibir atas dan bibir bawahnya. Dia merogoh saku kemeja dan mengeluarkan sebungkus rokok yang kemudian disodorkannya ke Zelta.

Zelta menatap bungkus rokok itu sebentar, lalu kembali melihat pemandangan halaman sekolah di bawah sana. "Gue nggak merokok," ujarnya tanpa melihat Jay.

Jay memasukkan kembali bungkus rokoknya ke dalam saku kemeja, kemudian menghembuskan asap ke udara.

Selama beberapa menit tidak ada obrolan di antara mereka. Kedua insan itu sama-sama tengah menikmati pemandangan di bawah sana meski dengan pikiran yang sibuk.

"Lo nggak masalah sama perjodohan antara lo sama Tessa?" tanya Zelta, memecah keheningan.

Jay menoleh. "Emang kenapa?"

"Lo keliatan nggak peduli waktu Tessa deket sama cowok gue."

Jay merasa lucu dengan pernyataan itu. Lagi pula, mengapa ia harus peduli?

"Lo bisa minta dia buat nggak deket-deket cowok gue lagi?" tanya Zelta dengan nada putus asa.

"Ngapain?" jawab Jay dengan tatapan yang seakan bilang, "kayak nggak punya kerjaan aja."

Zelta menatap Jay dalam diam, tidak ada yang bisa ia katakan karena pertanyaannya terlontar hanya karena merasa putus asa sesaat.

"Kenapa bukan lo sendiri yang bilang ke dia? Dia kan saudara lo." Jay tersenyum mengejek, mengetahui betul bahwa hubungan kedua saudara satu ayah itu tidak begitu dekat.

Provokasi itu sama sekali tidak mempengaruhi Zelta. Ia memberikan reaksi yang ambigu dengan mengangkat bahunya.

Ponsel Jay tiba-tiba berdering, membuatnya memutus kontak mata dengan Zelta untuk melihat ke arah layar ponsel. Nama Rena tertera di layar, dan tanpa bicara lagi, Jay segera beranjak pergi sambil mengangkat panggilan tersebut, meninggalkan Zelta sendirian.

Zelta menatap punggung Jay yang semakin menjauh. Entah kenapa rasanya tidak nyaman berhadapan dengan Jay. Sepertinya, cowok itu sedang diam-diam berusaha membuatnya menunjukkan sisi lain dari dirinya. Tatapannya terang-terangan menyiratkan ketertarikan padanya. Bukan tertarik yang mengarah suka atau cinta, tetapi lebih ke penasaran... entahlah.

***

Kalau kalian berkenan, tolong vote dan komen ya biar lapak ini ramee. Terimakasih banyak sudah menunggu cerita ini update!

Semoga suka!

Zelta's HatredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang