🌰JYM-21

15.4K 3.6K 1.6K
                                    

Haydar berdiri di ambang pintu dapur, menatap sekitar. Ada Meri yang sedang sibuk mencuci piring.

Melihat ada Haydar, lantas gadis itu mengalihkan perhatiannya. "Gus Haydar butuh apa?" tanya Meri.

"Bolehkan saya minta tolong."

"Boleh lah. Butuh apa emang?"

"tolong buatkan kopi."

"Gus Haydar, suka kopi?"

Bukan apa-apa, pasalnya baru kali ini Haydar meminta kopi. Setahunya semua putra Kyai tak ada yang suka kopi. Informasi itu ia dapat dari sahabatnya siapa lagi kalau bukan Cita. Ia percaya sebab Cita orang dalam yang dekat dengan keluarga ndalem, jadi lumayan tahu tentang hal yang bukan pribadi.

Kepala Haydar menggeleng pelan. "Bukan, untuk tamu saya."

"Oh, ya udah Saya buatin dulu."

"Terimakasih."

"Eh, kopi apa Gus?" tanya Meri menghentikan pergerakan Haydar yang hendak beranjak dari tempat.

"Terserah kamu," jawabnya lembut.

Meri mencengkram roknya kuat, tak tahan mendengar suara lembut Haydar. Entah kenapa nada bicara Haydar hari ini dengan kemarin sangat berbeda. "Mau dibuatin berapa? Satu atau dua?"

"Satu aja. Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum."

Gadis itu tersenyum manis. "Waalaikumsalam calon imamku."

Haydar tampak menggeleng, sudut bibirnya sedikit tertarik ketika menangkap kalimat terakhir Meri.

"Aaaaa..., makin hari kok makin meleleh ya," heboh Meri tertahan.

Semenjak mendapat teguran akan lisan, sejak saat itu lah Meri mulai membiasakan diri untuk berbicara seadanya. Meski tak banyak perubahan tapi ia masih berusaha untuk mengendalikan lisan dan juga prilaku agresifnya. Ia tak mau Haydar ilfil hanya karena tingkahnya yang membagongkan.

Dan ternyata perubahannya membuahkan hasil, Haydar tak seketus dan sesadis kemarin-kemarin. Lebih sering bernada lembut daripada ketus.

Gadis itu segera memasak air. Begitu mendidih ia menyeduh kopi saset yang memang sudah disediakan oleh Umi Halim di dapur. Bukan untuk diminum sendiri, jaga-jaga jika ada tamu yang tidak suka minum teh seperti tamu Haydar sekarang ini.

Begitu selesai menyeduh secangkir kopi, ia membawa kopi tersebut ke ruang tamu tempat dimana Haydar menemani tamunya. "Permisi," tukas Meri ketuka meletakkan secangkir kopi dimeja.

Entah kenapa ia merasa pria muda yang menjadi tamu Haydar ini tampak memperhatikannya. Meskipun tidak lekat akan tetapi Meri dapat merasakan jika ia sedang diperhatikan.

Haydar berdehem. "Jadi bagaimana? Ada hal apa yang membuatmu datang kemari?"

Laki-laki yang umurnya tiga tahun lebih tua dari Haydar itu bersuara, "Jadi gini. Sebelum menikahi istri saya, saya menganggap bahwa dia adalah wanita yang paling cantik."

"Tapi setelah menikah, perasaan itu lama-lama mulai menghilang. Selama lima tahun menikah, semakin banyak perempuan diluar sana yang lebih cantik dan saya melihat istri saya semakin lama kian tidak menarik lagi."

Haydar tidak sama sekali memotong cerita temannya. Ia menunggu hingga laki-laki ini menyelesaikan ceritanya.

"Tujuh tahun menikah, saya tidak ingin meninggalkan istri saya akan tetapi saya ingin menikahi perempuan cantik yang ada diluar sana. Kenapa hal itu terjadi dalam kehidupan saya, Gus?" sambungnya.

Harris namanya, dia memang tidak seumuran dengan Haydar. Namun laki-laki ini dahulu adalah salah satu santri di pesantren At-Ta'aruf, oleh karena itu Haydar kenal dengannya.

Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang