Ceklek
Kali ini Meri adalah orang pertama di antara para penghuni asrama yang bangun. Biasanya ia akan menjadi orang paling akhir, bersama si ketua kamar.
Dilirik arloji yang baru saja ia lingkarkan di pergelangan tangan mulusnya. "Masih jam dua lebih dua puluh enam menit."
Kakinya terayun keluar. Ia pejamkan mata begitu udara sejuk menerpa kulit wajah. Kedua tangan terlentang lebar. "Awali pagimu dengan sarapan, karena kemarin ku coba mengawali pagiku dengan senyuman. Siangnya kelaparan."
Meri mengeluarkan satu buah snack berukuran sedang yang ia sembunyikan dibalik cardigan yang dikenakan. "Tara.... Nyamil dulu kakak. Tak ada nasi, snack pun jadi. Yang penting perut gue kagak ngerengek minta dikandangin."
Ia mencari posisi ternyaman dan ter-enak untuk nongkrong sendirian. Kakinya di ayun-ayun kan, satu tangan sibuk memasukkan kripik kentang kedalam mulutnya.
Dari sini ia dapat melihat bangunan yang menjadi tempat tinggal sang pujaan hati. "Kata orang, untuk membuat dia jatuh cinta gue harus buat dia tertawa. Tapi sayang, mau tingkah macem badut juga kagak bisa buat dia ketawa. Senyum aja cuma sekali, mana langsung buat gue tepar lagi. Kelepek-kelepek, alias tambah jatuh cinta."
"Kalau dirasa in, lama-lama si abang Haydar mirip air di pagi hari. Dingin."
"Kadang juga mirip api, menghangatkan tapi gak bisa disentuh. Nekat nyentuh, kebakar dah ini tubuh."
"Haydar, maukah kamu ku panggil Mas."
Gadis itu meletakkan snack di pangkuan. Tangannya menopang dagu sembari tersenyum membayangkan jika suatu hari panggilan Mas akan tersemat untuk Haydar. "Mas Haydar, lamar gue napa! Ishh."
Wajah sumringah itu berubah redup. Lagi-lagi nama Kyai Zaeni Dahlan melintas di otaknya. Setiap kali nama itu melintas, tak hayal membuatnya murung. "Kenapa harus inget? Kenapa gak sadar diri?"
"Anaknya Kyai Zaeni kayak apa ya? Pasti cantik. Ya Allah, Mer. Kenapa saingan lo yang good looking plus good atitud sih."
"Coba aja kalau saingan gue para lonte, gak minder kayak gini. Macamana nak jadi hafidz Qur'an kalau baca ayat kursi aja suka lupa, kadang hafal kadang enggak," geram Meri hampir frustasi.
"Kuliah di Kairo dengan nilai baik. Lah gue, malah sebaliknya. Semoga cepet dapet kabar dari bapak Teriyaki. Seenggaknya gue bisa lulus tanpa harus mumet mikirin skripsi."
Kenapa Meri memberi julukan Teriyaki kepada dosen pembimbingnya? Sebab setiap kali bertemu Hito, bawaannya ingin meneriaki didepan wajah laki-laki dua puluh sembilan tahun itu.
Maka dari itu, karena tak berani dan tak mau mengambil resiko. Pada akhirnya ia hanya bisa memberi julukan Teriyaki kepada dosen pembimbingnya.
Mungkin julukan itu lebih aesthetic, kebule an juga. Bagaimana tidak, secara Teriyaki sangat digemari orang jepang.
"Mer.... Kenapa sih, lo harus jatuh cinta sama orang yang secara nyata lo tau kalau dia udah di jodohin. Yah, meskipun gue tau perjodohan bisa ditolak."
"Tapi apa iya, Haydar rela nolak cewek good demi gue yang bad. Kalau bedcover mah enak, empuk. Lah gue bad ringsek. Kretek-kretek pula."
"Hay, percayalah. Gue mau kok lo bimbing, gue bisa nurut. Gue cuma perlu proses aja, sedikit permakan nanti juga bisa jadi kayak Cita."
"Mer, ngomong sama siapa?" tanya salah satu teman satu kamarnya.
Meri melirik orang yang sudah mengganggu ketenangannya. "Ya sama setan lah. Sama siapa lagi."
"Lo liat aja gue lagi duduk sama siapa?"
Kepala gadis itu menggeleng. "Kamu bisa liat setan?"
"Bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
ChickLit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...