Mata gadis yang baru tiba di pesantren itu berbinar ketika melihat siapa orang yang duduk diteras asrama Khadijah putri sendirian dengan sebuah ponsel digenggaman. Ia sedikit berlari kecil. "Teteh," pekiknya tertahan.
Seakan tahu apa yang akan dilakukan Riana, gadis itu dengan sigap menggeser tubuhnya. Dan terjatuhlah Riana di atas lantai, tempat Meri sebelum bergeser. Posisinya tengkurap. Buku yang di gendong berhamburan.
"Kalau ngantuk tidur, jangan malah lari-lari an. Nyungsep kan," sambar Meri memandang gadis dua puluh tahun ini iba. Tentunya tanpa ada niatan untuk membantu.
Riana bangkit, memaparkan wajah cemberut sembari memungut buku-buku yang berserakan. Ia memang baru tiba dari kampus, seketika itu juga ia sangat gembira ketika melihat Meri sudah kembali. Sungguh, kemarin-kemarin ia tak bisa menjenguk gadis yang sudah dianggap kakak ini dirumah sakit. "Teteh tega bener. Masa Riana di nyongsrokin."
"Yang nyongsrokin siapa? Orang lo nyungsep sendiri," balas Meri.
"Riana kan pengen peluk, kangen sama Teteh. Teteh nya malah jahat sama Riana," paparnya sarkatis.
Meri menahan tawa, gadis ini benar-benar. Kadang suka membuatnya jengkel tingkat akut, kadang juga membuatnya terharu seperti saat ini. "Ututu, pengen peluk adek gue. Sini peluk."
"Bantuin mungut bukunya dulu." Perkataan Riana barusan sukses melenyapkan wajah haru dan sumringah dari seorang Meri.
"Dikasih hati, minta brutu," kata Meri seraya memungut buku tebal dengan jumlah tiga biji tersebut. Memanglah manja si Riana, buku tiga biji saja meminta bantuan.
Begitu beres tanpa aba-aba Riana memeluk Meri. "Akh," ringisnya ketika mendapat serangan mendadak dari Riana, sedangkan kondisi lengan kiri masih belum sembuh total.
Gadis itu mundur otomatis kala mendengar ringisan yang keluar dari bibir tipis perempuan yang sudah dia anggap kakaknya. "Maaf Teh. Masih sakit ya Teh?"
"Udah tau pake nanya. Agresif banget sih lo! Sama-sama cewek juga," omel Meri.
Ia meringis, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Ya maaf. Kan Riana khilaf, hehe."
Meri melirik penampilan Riana. Berkemeja batik dengan rok hitam juga sepatu pantofel. "Habis kuliah?"
Kepala Riana mengangguk. "Teteh dari kapan pulang kesini?"
"Pagi, satu jam setelah orang-orang sibuk dengan kegiatan ngajar, sekolah. Yah intinya pada sibuk dengan kegiatan masing-masing," terang Meri.
Seru-serunya berbincang kedatangan orang yang memaksa kedua sudut Meri untuk tertarik.
"Ning Tiyas. Ada apa Ning?" tanya Riana begitu kaki Tiyas naik ke teras.
"Ini, mau ambil mukena aku yang ketinggalan. Mukena yang sekarang aku cuci," kata Tiyas.
Ia melirik Meri yang tengah menyibukkan diri dengan ponsel. Kakinya melangkah menghampiri Meri, tangannya terulur menyerahkan sebuah kotak yang berisi salad buah. "Ini buat kamu."
Kedua alis Meri hampir menyatu. "Buat gue?"
Diangguki kepala oleh sang empu. "Tadi aku pesen, keinget kamu."
Dengan sedikit ragu Meri menerima salad buah dari Tiyas. "Makasih."
"Oh iya. Mas Haydar suka sama sambal buatan kamu," kata Tiyas tersenyum masam. Meski sakit, entah kenapa kata-kata itu keluar spontan dari bibirnya. "Kapan-kapan aku boleh minta diajarin gak?"
Meri berdehem, menetralkan kembali sakit dihatinya. Untuk kesekian kalinya ia haru tersenyum dengan hati yang terluka. "Boleh. Mau kapan?"
"Besok, bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
ChickLit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...