🌰JYM-17

14.6K 3.5K 843
                                    

Percakapan Mereka di hentikan oleh sebuah suara bariton. "Assalamualaikum."

Melihat siapa yang datang membuat gadis itu bangkit, sedikit mundur, kepalanya menunduk. "Waalaikumsalam Abah."

Mendengar Meri menyebut nama Abah, bocah sembilan tahun itu pun ikut berdiri. Sama halnya dengan Meri, ia menundukkan kepala. "Waalaikumsalam, Abah," jawab Firman.

"Kok berdiri. Ayo duduk lagi," seru Kyai Muhaimin.

Kepala Meri menggeleng. "Ndak sopan Abah."

"Udah ndak papa. Ayo temenin Abah duduk. Ayo le, duduk lagi." Kyai Muhaimin menepuk pelan pundak Firman untuk kembali ke tempat semula.

"Ndak usah Abah. Maaf kalau Firman ndak sopan sama Abah," ujar Firman sebab ia tak tahu letak Kyai Muhaimin masih berdiri atau sudah duduk. Yang telinganya tangkap bahwa suara Kyai Muhaimin berada di sampingnya.

"Ndak papa le. Ayo duduk."

Akhirnya Firman-pun duduk tepat di samping Kyai. Mata Kyai melihat satu gadis yang masih setia berdiri dengan kepala tertunduk, kedua tangan berada di depan. "Nduk, ayo duduk. Abah hanya ingin ngobrol sebentar."

Ketiga orang itu berbincang seputar agama, bisa di bilang Kyai Muhaimin memberi tetuah dan semangat kepada Firman dan juga Meri.

Kyai Muhaimin bangga dengan tindakan dan sikap Meri yang diberikan untuk Firman si pedagang kaki lima yang hidup sebatang kara.

Jaman sekarang jarang ada orang yang mau mengambil keputusan sebesar ini. Apalagi Meri masih muda, pasti kebanyakan gadis sekarang akan lebih mementingkan kebutuhan pribadi dibanding memikirkan keperluan orang lain.

Biaya pendidikan bukanlah murah, namun tanpa pikir panjang hanya dengan bermodalkan percaya akan kebesaran Allah, bahwa akan di permudah. Dengan ikhlas lillahi ta'la, gadis itu mau mengulurkan tangan untuk anak yatim piatu.

Pesantren ini juga tidak akan memungut biaya apapun terhadap Firman. Jadi, Meri hanya memenuhi kebutuhan Firman selain fasilitas gedung dan juga beberapa kitab.

Tentunya Firman mempunyai guru bimbingan khusus yaitu Haydar. Iyap, Haydar menepati janjinya untuk menjadi guru private Firman menghafal Al-Qur'an. Bukan di istimewakan, hanya saja Firman adalah satu-satunya santri yang memiliki kekurangan tuna netra.

Haydar rasa untuk membimbing Firman tidak-lah sulit, sebab bocah sembilan tahun ini sudah memiliki hafalan tiga jus. Pelafalannya juga tinggal di sempurnakan saja.

Saat di tanya, ternyata almarhum ibunya lah yang membimbing Firman menghafal dua jus Al-Qur'an sebelum tiba akhirnya beliau di panggil oleh Allah untuk menyusul sang ayah.

Sedangkan yang satu jus lagi, dia dapat dari suara orang khataman di masjid tempat dimana pertama kali Meri bertemu dengan Firman.

Beberapa menit berbincang, tiba saatnya Kyai berpamitan. Dan sekarang hanya tinggal mereka berdua saja.

Baru juga lima menit, ada salam kembali. "Assalamualaikum."

Untuk yang ke dua kalinya Meri berdiri menunduk. Tampaknya ada yang aneh. Apakah ini suara Kyai? Tapi kenapa berbeda? Dengan ragu kepala Meri mendongak. Matanya membola begitu tahu siapa yang berdiri tak jauh darinya.

Laki-laki berbaju kokoh coklat, dengan sabuah sarung dan juga peci hitam di kepala. Tengah tersenyum lebar seraya membenahi pecinya.

Kepala Meri menggeleng tak percaya, mulutnya ternganga. "Lo kerasukan Jin?"

"Kok bisa masuk?"

"Heh! Lo ngapain disini?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus Meri lontarkan untuk laki-laki yang sangat tak asing di matanya. "Wahh, bener-bener gila nih anak."

Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang