Meriana Anggelica, ia merasa bahwa tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya. Entah cahaya apa itu, dirinya juga tak tahu.
Berpakaian putih gading dari ujung kepala hingga menutupi telapak kaki. Tak sengaja matanya menangkap seorang gadis tengah berbaring diatas brankar dengan beberapa selang dan alat lain yang menempel di tubuh. Serta suara monitor yang menguasai seluruh ruangan.
Ia berdiri tepat disisi berankar, menatap lekat wajah gadis dengan kelopak tertutup rapat itu. Sepertinya ia mulai merasakan hal yang aneh. "Kenapa dia mirip gue," gumamnya.
"Siapa dia?"
Meri semakin menatap gadis itu lekat-lekat. "Apa selama ini gue punya kembaran?"
Kepalanya menggeleng tak percaya, namun tak menghilangkan ekpresi santainya. "Bisa jadi iya, bisa jadi enggak. Tapi enggak deng, yakin deh. Mungkin cuma mirip doang."
"Sakit apa dia?"
"Kasihan sekali, hidup tapi berasa mati. Bernapas tapi gak bisa gerak," ujarnya kasihan melihat gadis yang berada disisinya.
Ia menghela napas syukur. "Alhamdulillah, gue masih bisa bernapas."
"Bersyukur banget masih diberi kesehatan."
Tangan Meri menepuk pelan pundak gadis yang terbaring tersebut. "Yang sabar ya Mbak. Gue do'a in semoga penyakit lo cepet di angkat."
"Semoga cepet sembuh. Ntar kalau udah sembuh jangan jadi beban orang tua lagi. Kasian, merekanya tertekan. Banggain orang tua lo," sambungnya.
Meri membalikkan badan, menghampiri jendela yang terbuka. Kedua tangan direntangkan lebar, menghirup udara dalam. "Woahh, indah benget pemandangannya. Padahal cuma dua lantai loh ini."
Ceklek
Ia membalikkan badan ketika mendengar suara orang membuka pintu. Kedua sudut bibirnya tertarik ketika melihat siapa orang yang masuk, tapi tak lama senyuman itu berubah. Tergantikan oleh sebuah kerutan didahi putihnya. "Kok Mamak sama Papa ada disini, ngapain," gumamnya.
Tapi gadis itu tetap melambaikan tangan sembari tersenyum. "Mamak, Papa," panggilnya seraya menghampiri kedua orang tua yang berada disisi sang dokter.
Tak ada sahutan. Mereka seperti tak dapat melihatnya. Kenapa wajah kedua orang tua nya sembab? Ada apa ini?
"Mamak, Papa," panggilnya kembali.
Lagi-lagi ia tak dihiraukan. Meri tak gencar, ia mengikuti dan terus berusaha. Sekarang ia berpindah dimana Haikal berada. "Kal!"
Meri mulai panik ketika ketiga orang ini tak ada yang meresponnya. Bahkan ia tak bisa menyentuh orang tuanya. Mereka berbincang disisi gadis yang baring di atas brankar.
Haikal tampak memeriksa kembali keadaan gadis yang katanya mirip dengan Meri itu. Putra bungsu dari Kyai menghembuskan napas kasar. "Maaf Ibu dan Bapak. Tampaknya pasien mengalami koma."
Kepala Maria menggeleng, mengusap lembut kepala sang anak. Air matanya kembali berlinang melihat keadaan anaknya. "Ya Allah, Meri. Mamak sayang kau, jangan kau tinggalkan Mamak, sayang."
Sedangkan gadis yang masih berdiri di antara mereka menatap tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia baru sadar jika yang sedari tadi ia do'a kan untuk cepat sembuh adalah dirinya sendiri.
Napasnya tersenggal, tubuhnya terduduk. "Enggak, gak mungkin."
"Gak mungkin itu gue. Ma, Pa. Itu bukan Meri. Meri disini," lirihnya.
Kepalanya menunduk, matanya terpejam. Berharap ketika kelopaknya terbuka semua kembali seperti semula.
Begitu kelopak mata itu terbuka kembali ia sudah berada ditempat yang berbeda. Suara teriakan, jeritan minta tolong sangat memekakkan telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
ChickLit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...