Baru satu jam terlelap, suara bising sudah mengusik tidurnya. Menyeru paksa untuk bangun. Gadis itu semakin mempererat selimutnya.
Tiyas menepuk pelan lengan Meri. "Meri, bangun."
Tubuh Meri menggeliat. "Apasih, gue masih ngantuk."
"Mbak Meri, ayo mandi terus sholat tahajud," kata Nurma.
Sayu-sayu Meri mengangkat lengan tepat di matanya, berusaha menjelaskan jarum dan angka pada lingkar jam yang di kenakan. "Masih jam tiga juga."
Nurma masih berusaha membujuk Meri. "Justru itu Mbak. Semua udah pada bangun, kalau gak mau mandi wudhu aja juga gak papa. Ayo Mbak."
Bibir Meri berdecak kesal, ia mendudukkan tubuhnya paksa. "Gue baru tidur sejam."
"Mer. Sebentar lagi petugas keamana keliling. Ayo buruan. Emangnya kamu mau di hukum lagi?" tanya Tiyas.
"Iya, iya. Kalian duluan aja, gue mau ganti baju dulu," gumam Meri dengan suara serak.
"Tapi beneran, nyusul kan?" pungkas Tiyas.
"Iya."
"Ya udah kalau gitu kita duluan ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Meri. Ia melanjutkan kata-katanya. "Tapi kagak janji." Tubuhnya kembali baring dengan posisi meringkuk di balik selimut.
Kini tinggal dirinya dan Yuyun saja yang masih berada di kamar. Sebagai petugas kamar Yuyun memang selalu jadi orang paling akhir yang berada di kamar, sebab apabila ketahuan petugas keamanan kalau masih ada santri di kamar tanpa ada hajat atau sakit ia akan di beri hukuman juga.
"Mbak yang masih tidur ayo cepat bangun! Sebentar lagi asrama di kunci. Ayo Mbak bangun, wudhu," seru Yuyun membangunkan Meri secara paksa.
Meri menyingkap selimut kesal. "Kenapa sih, ini orang pada suka ganggu gue. Gak bisa apa biarin tidur nyenyak!"
"Mbak, ini bukan di rumah Mbak sendiri. Di pesantren juga ada peraturan. Ayo Mbak cepat. Saya gak mau ikut di hukum gara-gara Mbak."
Tak mau berdebat, gadis itu segera berdiri menghampiri loker untuk mengganti baju. Nyelonong tanpa sepatah kata pun. Berjalan dengan mata terpejam, sesekali juga terbuka.
Begitu sampai di kamar mandi, ternyata sudah tinggal beberapa gelintir orang saja. Ia masuk kedalam kamar mandi kosong, bukannya bergegas untuk mengambil air wudhu gadis itu justru menatap sekitar kamar mandi.
Matanya tertuju pada sebuah ember hitam tebal yang cukup besar, sebagai penampung air. Entah keberuntungan dari mana, ia juga menemukan sebuah kanebo. Bibir Meri tersungging. "Lagi-lagi otak cerdas anak Mamak bekerja dengan baik."
Meri membuang air yang ada di dalam ember, mencuci bagian pantat lalu mengelap dengan kanebo hingga tak ada air. Tak lupa tembok basah juga di lap, lalu di letakkan lah timba tersebut dengan posisi terbalik. Ia duduk di atasnya, serta bersandar di tembok yang sudah bersih tadi.
"Kalau bukan terpaksa, mana mau gue tidur di kamar mandi. Yang penting besok gue kagak pusing karena kurang tidur," gumamnya. Tak lama matanya-pun terpejam.
Baru juga terlelap, suara gebrakan pintu mengagetkan Meri hingga terjatuh dari duduknya. Gadis itu mengaduh sakit.
"SIAPA YANG NYURUH KAMU TIDUR! BANGUN! JANGAN KE-ENAKAN," bentaknya seraya memukul pintu kamar mandi dengan penjalin yang terbuat dari serutan bambu.
BRAKK
BRAKK
Kedua tangan Meri terkepal kuat. Merasakan antara marah karena bentakan juga rasa nyeri di bagian pantat dan kepala. Ia menatap tajam perempuan yang di lihat lebih muda darinya itu. Napasnya menggebu ingin memakan hidup-hidup namun ia sadar jika dirinya lah yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
Chick-Lit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...