Meri terjingkat ketika melihat penampakan Haydar berada di belakangnya. Sejak kapan laki-laki itu disini? Kenapa ia sama sekali tidak tahu akan keberadaannya? "Gus Haydar, ngapain? Sejak kapan berdiri disini?" tanya Meri.
"Sepertinya saya gak perlu jawab keduanya. Kamu sendiri ngapain disini? Bukankah tadi izin ingin membeli minum?" tanya Haydar.
Padahal ia tahu persis apa yang Meri lakukan di pelataran masjid berdua dengan bocah pedagang kaki lima.
Bola mata Meri menatap Firman, lalu kepalanya sedikit mendongak melihat Haydar. "Gus Haydar."
"Iya?"
Gadis itu bingung akan memulai darimana, ia menimbang-nimbang.
"Kenapa diam? Silahkan bicara."
"Gus Haydar, saya mau minta izin buat ajak Firman ke pesantren," tutur Meri dengan nada pelan. "Gus Haydar tenang aja. Selama di pesantren semua biaya dan kebutuhan Firman saya yang tanggung."
Kali ini pancaran mata Meri sangat penuh harap. "Gus Haydar mau kan bantu Firman belajar?" Kedua tangan menangkup di depan bibir. "Saya mohon. Kalau perlu di kasih VIP aja gak papa, biar Firman nyaman."
Ia rela mengeluarkan biaya banyak, asal Firman bisa menggapai cita-citanya tanpa olokan dari teman. Meski di dalam lingkungan pesantren, tapi yang namanya manusia pasti tak luput dari kata-kata pedas. Apalagi melihat kekurangan Firman, pasti banyak yang menganggap sebelah mata.
Terlihat, kedua tangan Firman sibuk mencari tangan Meri. Setelah dapat, ia genggam erat seraya menggelangkan kepala. "Kak, kalau gak bisa gak papa. Jangan istimewakan Firman, Kak."
"Gak ada yang di istimewakan. Kakak cuma pengen kamu nyaman aja," balas Meri.
Haydar bergerak, ia ikut jongkok. Satu tangannya menepuk pelan pundak Firman. "Kamu gak usah khawatir, nanti saya sendiri yang akan membantumu. Beri hadiah mahkota untuk kedua orang tua mu."
Mendendengar suara bariton, kepala Firman bergerak kesamping di mana ada sebuah tangan yang menepuk pundaknya. Kedua sudut bibirnya tertarik, ketika ada yang mau menjadi gurunya. "Apakah Kakak ini suami kak Meri?" tanya Firman menyentuh tangan Haydar.
Sontak tanpa sadar keduanya saling pandang, "Astagfirullah," suara Haydar ber-istigfar seraya mengusap dada.
Ini adalah kali pertama ia menatap mata telanjang perempun selain ibunya. Sungguh ia sangat menyesal, dosa telah ia perbuat.
Berbeda dengan Meri, bukannya berpaling justru tersenyum melihat gelagat Haydar. "Gus Haydar kenapa? Terpesona ya?" tanya Meri dengan nada centil.
"Hentikan suara yang di buat-buat. Jaga suaramu, berbicaralah seperti biasa. Jangan mendayu-dayu," peringat Haydar.
"Emangnya kenapa?"
"Suara perempuan aurat. Kamu akan di persulit dengan perbuatanmu di hari kiamat," tegas Haydar.
"Hah? Masa gitu aja dosa sih Gus," protes Meri.
"Suara wanita adalah aurat, hanya dengan suara lembut wanita saja sudah membuat syahwat laki-laki muncul. Jangan tampakkan lagi suara lembut kepada laki-laki yang bukan mahram mu. Suara itu hanya boleh di dengar orang yang memang benar-benar berhak mendengar."
"Semakin banyak laki-laki yang tepesona dengan fisik mu, makan semakin banyak pula musuhmu di hari kiamat. Berhati-hati lah dalam bersikap."
"Siapakah orang yang berhak?" tanya Meri.
"Suami mu," jawab Haydar mutlak.
"Berarti kalau calon, belum bisa?"
"Kamu hendak menikah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
Chick-Lit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...