Si perempuan tersebut tak sengaja nengok ke arah Meri dan Cita. Mulut Meri terbuka lebar, kepalanya menggeleng. "Tiyas," gumamnya pelan.
Meri dapat melihat sebuah anggukan kepala beserta senyuman malu dari perempuan itu. Tak lama telinganya mendengar jawaban lembut. "Saya terima Abah."
"Alhamdulillah," seru kedua keluarga.
"Innalillahiwainnailaihirojiun," lirih Meri pelan. Sangking pelannya Cita tak dapat mendengar.
Matanya terpejam, meresapi kata alhamdulillah yang mereka lantunkan serentak. Ia membayangkan bahwa yang berada di antara mereka adalah dirinya. Dirinyalah yang menerima pinangan dari putra kedua Kyai Muhaimin.
Kelopak yang tertutup itu terbuka kembali, dua detik terbuka terpejam kembali bersama dengan dua tetes cairan bening jatuh membasahi pipi.
Kedua sudut bibirnya tertarik, tertawa sumbang. Ia nengok menatap sahabatnya. "Mereka becandanya hebat ya? Kayak real gitu. Sampek rasanya sesek loh dada gue."
"Hahaha, lucu. Mereka berhasil buat gue ketawa." Meri tertawa seakan ada yang lucu. "Sangking lucunya sampek keluarin air mata. Dih lebay amat lo Meri. Haha."
"Mer," lirih Cita.
"Mereka ngeprank gue Cit," tunjuk Meri ke arah mereka. "Baru kali ini gue di prank, berhasil pula."
"Mer," panggil Cita menatap sahabatnya.
"Gue gak ulang tahun loh Cit, kok udah dikasih kejutan aja." Celoteh tak jelas itu terus-menerus keluar dari bibir tipis Meri.
Bibirnya tampak tersenyum, namun tidak dengar air mata yang sedari tadi menetes. Gadis ini terus meyakinkan dirinya sendiri jika apa yang di saksikan tidak lah nyata, atau haluan belaka. "Gue halu, Cit."
Kedua tangan menyeka air mata di kedua sisi pipi. Setelahnya ia melenggang keluar dari halaman, berdiri didepan gerbang ndalem santri putri.
"Meri!" Cita mengikuti langkah kaki Meri.
Dilihat gadis yang belum genap dua puluh tiga tahun itu sudah jongkok tepat didepan gerbang.
Dia diam tak bergerak dengan kedua tangan memeluk lutut. Arah bola matanya lurus, tatapannya kosong. Sama sekali tidak mengeluarkan suara seperti beberapa menit yang lalu.
Cita ikut jongkok disamping sahabatnya, menyentuh pundak. "Mer, are you okay?"
Kedua tangan itu terkepal kuat, gigi-giginya saling mengertatkan menahan rasa sesak yang amat dalam. Ia tak mau menangis didepan siapapun, ia bukan perempuan lemah.
Kepala Meri nengok, masih dengan senyuman yang sama. "Emang gue kanapa? Gue gak papa kali, gue juga baik-baik aja."
"Kalau mau nangis, nangis aja. Gak usah ditahan," tukas Cita.
"Apaan sih, siapa yang mau nangis?" kata Meri. Suaranya tampak serak, meski begitu gadis ini masih enggan mengeluarkan tangisnya.
Cita memeluk tubuh Meri, mengusap punggung lembut. Sedangkan Meri sendiri hanya mampu diam. Genangan itu lolos jatuh membasahi baju wanita yang memeluknya. Cita dapat merasakan cairan tersebut.
Tak lama Meri mulai membalas pelukan orang terdekatnya. Menangis tanpa suara, merasakan sakit tanpa perlu bicara.
Ketahuilah! Merasakan sakit tanpa menangis sangatlah menyesakkan. "Ikhlasin ya Mer," ujar Cita lembut.
Meri menenggelamkan wajahnya di pundak ibu satu anak tersebut. "Gue gak ikhlas Cit, gue gak bisa. Gue gak mau ditinggal nikah," lirihnya sumbang.
Ia mengusap air mata. Bibir yang tadi melengkung kebawah, ditarik kembali keatas. "Gue haus, Cit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
ChickLit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...