Tiga hari di pesantren, tiga hari pula Meri tak luput dari hukuman. Sebenarnya bukan pondoknya yang ketat, namun Merinya saja yang tak pernah puas dengan masalah sehingga mau tak mau hukuman juga mengikuti.
Dan sekarang gadis itu tengah bertugas membersihkan halaman ndalem. Dari menyapu, hingga menata tata letak bunga. Umi Halim sendiri yang mempercayai Meri untuk menata halamannya, bukan atas dasar kemauan dirinya sendiri.
Tentunya ia tak sendiri, ada Riana yang turut membantunya. Cita lah yang menunjuk langsung Meri agar piket di bagian ndalem bersama Riana. Sedangkan Riana sendiri sudah tiga tahun piket ndelam bersama Eka yang sekarang sudah di gantikan oleh Meri.
Sebenarnya piket ndalem enak tak enak. Enaknya bisa kenal lebih dekat dengan keluarga ndalem, mudah dapat barokah dari Kyai juga. Akan tetapi tugas di ndalem juga tak bisa secepat piket halaman pesantren, sebab piket ndalem membutuhkan waktu lebih daripada yang lain.
"Huh, gue capek," gumam Meri mengusap peluh yang membasahi seluruh wajahnya.
"Habis jadi pepes dadakan, jadi tukang wc dadakan, dan sekarang alhamdulillah jadi tukang kebun dadakan. Woahh, sungguh aesthetic sekali hidup gue yang sekarang."
"Sabar atuh Teh, kan dapat barokahnya Kyai," sahut Riana.
Meri melirik Riana yang sedari tadi tak henti melontarkan kata sabar kepadanya, hingga pengang telinganya mendengar kata sabar dari Riana. "Dari tadi sobar-sabar mulu. Iya lo enak namanya Sabariana, sabar mulu hidup lo. Bentar lagi gue mau ganti nama jadi emosiana."
"Emosi mulu gue deket lo," lanjutnya.
Riana tertawa. "Hahah, Teteh lucu juga ya."
Mata Meri mendelik. "Lo pikir gue lagi stand up comedy? Bener-bener ngeselin. Dah lah, pot yang itu pindahin ke sana."
"Nanggepin ini makhluk satu, bisa strok dadakan dah gue."
"Baru juga Riana puji, udah galak lagi. Jangan galak-galak atuh Teh, nanti cepet ubanan loh," tanggap Riana seraya memindah pot ketempat yang di tunjuk Meri barusan.
"Gue yang emosi, lo yang ubanan. Mau?"
Kepala Riana menggeleng. "Ya gak mau."
Gadis itu mendekati Meri, rautnya tampak serius. "Eh, Teh. Teteh tau kan perkebunan kelapa yang gak jauh dari belakang kamar mandi samping pohon cemara?"
Sedangkan yang di ajak bicara serius tampak menatap Riana aneh. "Lo pipis di bawah pohon Cemara?" tudingnya.
Mata Riana mendelik. "Hih, si Teteh mah. Ya enggak atuh Teh. Mana ada Riana pipis di luar, apalagi di bawah pohon. Malu."
"Ya. Siapa tau urat malunya udah di pangkas."
Riana cemberut. Ia kembali bersuara, "Tadi subuh sekitar jam dua Riana liat Kuyang, masa Teh."
"Lo kali Kuyangnya," balas Meri.
"Iihh, Riana serius, liat Kuyang bergelantungan di atas pohon kelapa."
"Lah emang siapa di daerah sini yang punya Kuyang? Lagian lo ngapain jam dua udah bangun?" tanggap Meri.
"Riana kebelet pipis. Awalnya Riana udah mau masuk ke kamar mandi deket asrama, tapi gak sengaja mata Riana liat ada yang melayang. Ya udah Riana ikuti sampek kamar mandi samping pohon cemara, ternyata Kuyangnya berhenti di pohon kelapa," jelas Riana.
"Lo serius?" tanya Meri mulai percaya dengan gadis dua puluh tahun ini.
"Ya serius atuh Teh."
Meri manggut-manggut. "Mungkin pemiliknya tinggal di daerah sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Yang Mana? [Segera Terbit]
Chick-Lit⚠️BACA HUA DULU BARU BACA CERITA INI BIAR GAK BINGUNG⚠️ Kandidat orang yang mencintai gue!!! -Haydar, putra kedua pengasuh pondok pesantren At-Ta-aruf. -Hito, dia adalah dosen pembimbing gue. Anak dari pemilik kampus yang gue tempati. -Zaenal, di...