XIII. Topeng yang Menipu

410 56 19
                                    

✨Happy Reading✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading

"Ibuuuu! Sini, Jo bawain barangnya."  Jo berseru, kedua tangannya meraih barang bawaan perempuan cantik yang merupakan ibu kawannya. Perempuan itu membawa dua bibit tanaman hias dan salah satunya aglonema suksom. Saking seringnya berbincang dengan ibu, Jo jadi paham betul bahkan ingat banyak jenis tanaman hias.

Dengan tangan bersidekap, Doyi dibuat geleng-geleng kepala oleh perilaku Jo yang galak ketika dilihat dari segi keseniorannya di kampus. Tapi lihat bagaimana perlakuan Jo saat itu, Doyi berdecih. "Dasar penjilat."

"Jangan iri, jangan iri, jangan iri dengki."

"Diem lo!"

"Sudah, jangan berteman."

Ibu menatap pasrah bagaimana keadaan anaknya. Ibu bahkan ingat satu tahun yang lalu, Aga pernah pulang dengan kondisi yang lebih parah daripada sekadar kaki yang terbalut oleh perban. Dan semakin berjalannya waktu, ibu semakin paham bahwa setiap perjalanan yang ditempuh anaknya pasti mempunyai risiko. Bahkan ibu tahu, pulang hanya tinggal namapun sebetulnya bisa saja terjadi.

Segala sesuatu, sekecil apapun pasti punya risiko. Sisanya hanya bagaimana usaha, berserah dan percaya pada yang mengatur cerita.

"Aga, kok nggak bilang-bilang kalau yang dateng banyak, ibu kira cuma ada Jo sama Icha, tau gitu ibu beliin makanan. Pasti siang-siang gini pada laper ya?"

"Siap, laper Budhe! Laper banget malah! Hehehe." Dery berseru sendiri dengan kencang sembari membuat gerakan hormat, membuat yang lain menatapnya dengan tatapan, 'Gue bunuh lo! Malu-maluin aja.'

Apalagi Doyi, kalau saja tidak ada ibu Aga di sana, Dery pasti sudah habis sama Doyi. Menampar mulut Jo saja Doyi berani, apalagi hanya seorang Dery, mau cincang ginjalnya juga bisa.

Ibu tersenyum manis ketika menatap Dery dengan wajah jujurnya, "mau dibeliin apa? Atau mau nunggu ibu masakin?"

Dery nyengir, "masak juga boleh Budhe, kayaknya kalau masakan rumahan lebih enak." Mendapat tatapan lebih kejam lagi dari kawan-kawannya, mungkin bisa di bilang nyali Dery menciut ketika kawan-kawannya seakan akan berkata lewat mata, 'Mati lo habis gini... Kebiasaan kalau main ke rumah temen cuma mau minta makan."

Aga berdecak, "Budhe-budhe.. Budhenya siapa?" Lantas dengan gerak perlahan, Aga mengambil sepotong apel yang tadi sempat dikupas Jo.

"Budhenya gue lah, Bang. Kita semua di sini kan udah kayak keluarga. Betul begitu bukan, Budhe?"

Ibu hanya geleng-geleng kepala saat itu, tapi beliau justru membetulkan apa yang dikatakan Dery. "Iya, betul. Habis gini semuanya ibu masakin, tapi seadanya aja ya, gimana?"

"Gak apa-apa Budhe, yang penting mah kenyang. Apapun makanannya harus disyukuri, masih banyak di luar sana orang-orang yang mau makan aja susah, malah kadang ada yang harus ngorek-ngorek sampah biar perut mereka kenyang." Dery tiba-tiba menjadi bijak. Padahal sebetulnya dia juga tidak begitu paham omongannya, tapi kata-kata itu tiba-tiba keluar seperti ada yang sedang berbisik, dan dia menirukan.

3726 MDPL [Jung Jaehyun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang