XVI. Merayakan Kegagalan

281 38 15
                                    

✨Happy Reading✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading

Sudah tiga hari sejak video itu beredar, Aga dan Aruna memberanikan diri untuk muncul, tidak membiarkan segala asumsi merajalela begitu saja. Meski ada kebenaran di dalamnya, tapi sebuah prasangka yang sengaja dihidupkan dan diagung-agungkan seringkali memelesetkan kebenaran.

Kabar buruk setelah tersebarnya video itu betul-betul seperti sebuah sambaran petir. Dipandang buruk sudah pasti dan yang paling mengerikan adalah kehilangan proyek yang sudah lama Aga tunggu-tunggu. Kalimat-kalimat yang mencekik juga masih terdengar oleh telinga Aga sendiri.

"Ganteng sih, tapi sayang psikopat."

"Dibalik dinginnya dia, ternyata banyak rahasia mengerikan."

"Keluar aja tuh orang dari Mapala, masa mereka mau punya ketua kayak gitu?"

"Kirain beneran gay, makanya dideketin junior-juniornya kayak dingin banget gitu. Taunya mantannya si Aruna-Aruna itu."

"Aruna kok masih aja betah sama dia?"

"Jangan-jangan dia diancem."

"The real psikopat cinta."

"Aruna siapa sih? Cantik emang? Cantikan mana sama gue?"

Aruna beranjak dari duduknya, mendekat pada Aga yang memilih berjongkok di hadapan lukisan yang masih basah. Tapi hanya sebentar, lantas ia memundurkan langkahnya, kembali mendekat pada sofa di belakangnya.

Sementara Aga masih membiarkan kuasnya melayang di udara tanpa berpijak pada bagian kosong di kanvasnya.

"Apa judulnya?" Tanya Aruna yang menatap lekat pada kombinasi warna-warna gelap itu. Ia tidak pandai menafsirkan segala sesuatu, yang ia tahu, di dalam lukisan itu banyak tersirat kesedihan dari warna-warna yang berlebihan dan akhirnya meleber.

Aga tersenyum nanar. Bukan karena ia gagal dan berhenti hingga lukisannya tidak terselesaikan. Tapi karena ia tetap berhasil mengisi kanvas itu meski pikirannya carut-marut "Merayakan kegagalan." Jawabnya, Aga terkekeh lantas meletakkan kuas di tangannya dengan keadaan tangan yang sudah kotor, setelahnya ia duduk di sisi Aruna pada sofa lapuk yang sengaja dipindahkan ke belakang.

Dengan suasana sepi di belakang kontrakan Jo lagi-lagi Aga meraup segala emosi yang ia pupuk di dalam diri, meski pada akhirnya ia tidak mampu meledak-ledak seperti apa yang ada pada bayangannya.

Suara burung-burung Jo yang berada dalam kandang tidak berhenti berseru, meski kadang terlalu berisik, tidak bohong kalau terkadang suara merekalah yang membantu meredam suasana hati yang naik turun.

Lantas Aga menatap kembali coretan yang hampir selesai pada kanvas itu. Dalam kepalanya terlintas bahwa warna yang ia tuangkan sedikit mirip dengan karya milik Vincent Van Gogh.

3726 MDPL [Jung Jaehyun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang