25 | The Unspoken Words [Part 2]

655 209 37
                                    

Tadashi menggigit potongan terakhir peanut butter sandwich-nya, kemudian meneguk sekitar satu perlima susu full cream yang tersisa di dalam gelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tadashi menggigit potongan terakhir peanut butter sandwich-nya, kemudian meneguk sekitar satu perlima susu full cream yang tersisa di dalam gelas. Setelah menyelesaikan sarapannya, ia beranjak dari kursi, kemudian menyampirkan salah satu strap ranselnya di bahu kanan dan mengambil kunci motor di meja makan.

"Aku berangkat," ujarnya pada kedua orang tua dan kakeknya di meja makan.

"Wait," ujar Andrian. Pria berusia empat puluhan itu mengelap mulutnya dengan serbet, kemudian turut beranjak dari kursi sambil membawa tas kerjanya. "Dad akan mengantarmu ke sekolah."

Tadashi menggeleng cepat. "It's okay, Dad. Bensin motorku masih penuh dan aku tidak ingin kau terlambat ke kantor."

"No, no, no, it's okay." Andrian mengecup kening istrinya cepat, kemudian berjalan menuju garasi mobil. "Sebelum ke kantor, Dad akan mampir ke suatu tempat yang dekat sekali dengan sekolahmu. Jadi, mengapa kita tidak berangkat bersama saja?"

"But ... nevermind." Ucapan Tadashi terhenti ketika sang ayah tidak menghiraukan ucapannya. Kemudian pemuda berusia delapan belas tahun itu melirik ibu dan kakeknya. Mereka hanya merespons dengan anggukan.

"Yeah, that's a good idea," ucap Dakota.

Tadashi berjalan mengekori Andrian ke garasi mobil. Jujur saja, pemuda bermata sipit itu merasa sangat canggung setelah percakapan mereka kemarin malam. Dalam hati, ia merutuki diri sendiri sambil memejamkan mata, berharap jalanan sepi dan ia segera sampai di sekolah.

*****

Sudah sekitar lima belas menit Tadashi berada di mobil yang sama dengan sang ayah. Tidak ada satu pun yang berbicara, hanya terdengar percakapan antara dua penyiar radio yang membahas ramalan cuaca dan lalu lintas Kota New York. Kebetulan, semuanya akurat. Langit pagi ini cukup cerah, berbeda sekali dengan suasana hati Tadashi yang mendung tidak karuan. Lalu lintas pun terlihat tidak bersahabat, maka pupuslah sudah harapan pemuda itu untuk cepat-cepat sampai di Red Valley High. Itu hal yang wajar, bukan New York namanya jika di pagi hari jalanan tidak padat dipenuhi kendaraan.

Acap kali Tadashi melirik Andrian yang masih serius berkutat dengan pedal dan kemudi. Sungguh, ia ingin memecah keheningan yang canggung ini, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Kecanggungan semakin menjadi ketika ayah dan anak itu sampai di lampu merah. Andrian melepas pegangannya dari kemudi, kemudian duduk bersandar sambil mengecek ponselnya. Tadashi masih melirik-lirik ayahnya. Pria itu kemudian menyimpan ponselnya di atas dashboard dan kembali menerawang jalanan padat merayap.

Hening selama beberapa detik sebelum Andrian memutuskan untuk memulai pembicaraan. "Pagi ini macet sekali."

"Of course. We live in New York," respons Tadashi seadanya.

"Kau masih punya sedikit waktu sebelum bel berbunyi, 'kan?"

Pemuda beretnik asia-kaukasia itu melirik jam digital di dashboard. "Yeah, sekitar sepuluh menit. Kita akan sampai tepat waktu," ujarnya, "I hope so."

Dream Walker [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang