14 | PDKT?

712 34 9
                                    

"Sejak kapan?"

"Kelas 10."

Gariel menoleh menatap tak percaya pada Jonathan di sampingnya. "Lo becanda?"

Jo mendengus kasar. "Menurut lo?" Matanya mendelik ke arah Gariel seraya menyalakan rokok yang diapit dibibirnya. Kini mereka berdua berada di balkon apartemen Gariel.

"Goblok." Umpat Gariel. Bisa-bisanya Jo menyembunyikannya selama ini. "Sorry." Gariel merasa bersalah andai saja ia tahu perasaan Jo, tak mungkin dirinya — ah sudahlah.

"Kalem lah bos. Sekarang gue kagak naksir lagi sama tu cewek." Jo menghembuskan asap rokok ke udara. "Nyesel gue."

Gariel tak menjawab, pikirannya berkelana kemana-mana. Masih tak percaya Jo yang sikapnya tengil dan banyak tingkah memendam perasaannya sendiri untuk Gia.

"Kalo lo?" Jo mengangkat sebelah alisnya bertanya.

"Gue gak pernah suka dia. Cuma pelampiasan —mungkin." Jawaban Gariel terdengar tidak meyakinkan. Namun memang ia pastikan jika dirinya tak pernah mempunyai perasaan suka pada Gia.

"Berengsek emang lo." Jo mendelik kesal.

Gariel tersenyum miring, "Yes, I'm."

Pletak! Jo melempar bungkus rokok ke kepala Gariel. "Berengsek kok bangga? Tobat goblok! Pantes aja Jeje gak mau lagi sama lo."

Gariel meringis menatap tajam Jo, "Sialan."

Jo mengendikkan bahunya tak peduli. Biar saja kali ini Jo yang bertingkah seperti yang biasa dilakukan Gariel padanya. Sinis. Tak peduli.

Ddrrrttt... Ponsel Gariel bergetar diatas meja. Faza menelepon.

"Hm." Gariel menjawab panggilan dengan malas. Apa susahnya mengatakan Halo, ck.

"Dimana?"  Suara berat Faza terdengar dari seberang sana.

"Apart."

"Oh otw."  Bip. Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Faza. Gariel berdecak kesal. Sangat tidak penting.

"Es batu mau kesini?" Tanya Jo.

Gariel mengangguk kecil melanjutkan menyesap rokoknya yang tinggal setengah.

"Lah bolos juga dia." Ujar Jo mengernyitkan dahinya.

"Lo buta?" Gariel menoleh mendelik kesal pada Jo. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 12 siang yang artinya sudah bubar sekolah.

"Kagak lah! Nih mata gue masih berfungsi dengan baik." Jo memelototkan matanya di hadapan Gariel.

"Liat goblok." Gariel menunjukkan jam diponselnya tepat di depan wajah Jo.

"Ehehehe bos kagak tau dah gue udah jam segini aja." Ujar Jo sembari cengengesan.

"Cih."

***

"Untuk pertemuan kali ini dicukupkan sekian. Terima kasih untuk seluruh anggota yang sudah hadir."

Arav tersenyum lebar menatap para anggota jurnalis di depannya. Jasmine yang berada di sebelah Arav pun ikut melebarkan senyumannya.

Satu persatu anggota keluar dari ruang rapat hingga tersisa Arav dan Jasmine yang sedang membereskan beberapa dokumen.

"Mau pulang bareng?" Ajak Arav mengangkat sebelah alisnya.

Jasmine tampak berpikir sejenak. "Sebentar." Ia mengeluarkan ponselnya mengirim pesan minta izin pada Jason.

Jasmine :
Abang, Arav ngajakin pulang bareng. Boleh?

Bro Jason :
Boleh, hati-hati dijalan cantik.

Jasmine tersenyum kecil kemudian menatap Arav di depannya. "Boleh." Ujarnya tersenyum manis.

Arav membalas tersenyum kecil. "Yuk." Arav menggenggam tangan Jasmine menariknya lembut, melangkah ke arah parkiran

Jasmine tersentak kecil karena perlakuan Arav yang bisa dibilang berani. "Rav, tangan lo." Ucap Jasmine mengingatkan.

"Sorry Je, refleks." Arav melepas genggaman tangannya. Jasmine hanya menggeleng tanda tidak apa-apa seraya tersenyum kecil.

Namun ketika Arav melepas genggaman ditangannya, Jasmine merasa seperti kehilangan. "Ck apasi Je jangan baper."  Batinnya dalam hati mengingatkan.

"Masuk Je." Arav membukakan pintu mobil untuk Jasmine.

"Makasih." 

Arav mengangguk kemudian berlari kecil mengitari mobil lalu masuk. "Langsung pulang?"

Jasmine menoleh, "Kalo gak pulang, mau kemana?" Ujarnya balik bertanya.

Arav menatap lekat Jasmine, "Pergi ke suatu tempat." Tatapan Arav menyiratkan sesuatu, namun Jasmine tak menyadarinya.

"Boleh, gue ikut lo aja." Jasmine tersenyum dan tampak bersemangat. Memang hari ini mood Jasmine sedang dalam keadaan baik.

Mobil Arav melaju dengan kecepatan sedang. Entah kemana Arav akan membawa Jasmine. Namun Jasmine percaya Arav tak akan berbuat macam-macam padanya.

Keadaan dalam mobil kini hening dan Jasmine tak nyaman jika hanya berdiam diri selama perjalanan. Ia berinisiatif memulai percakapan, "Lo suka warna silver ya?"

Jasmine hanya asal menebak saja karena interior mobil Arav semua berwarna silver dan hitam.

"Iya, black too."

Jasmine mengangguk-angguk, "Rata-rata cowok emang suka warna itu sih."

"Kalo cewek biasanya pink. Lo juga?" Arav melirik Jasmine di sampingnya sekilas.

"Kayaknya sih. Tapi gue gak suka warna pink. Selera gue lebih ke cowok sih sama kaya lo. Black, white, silver, grey — and  ya gitu deh."

"Gue kurang suka warna yang cerah kayak kebanyakan cewek. Lebih ke nuansa gelap dan simple aja." Lanjut Jasmine.

Arav mendengarkan ucapan Jasmine dengan baik. "Kenapa kurang suka?"

Jasmine tampak berpikir, "I don't know. Gak punya alesan. Kayak bikin adem tenang gitu sih kalo liat warnanya."

Arav mengangguk. "Gue juga lebih suka cewek yang simple, kayak lo." Ujar Arav menatap lekat Jasmine disampingnya.

♡♡♡

thank you!
| cover and photo by pinterest |

Jangan lupa vote yaa buat dukung aku terus! Komen juga buat kritik dan sarannya <3

| Jangan bosen baca cerita ini ya! Pantengin terus sampe selesai |

ONLY YOU (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang