12. Reset

1.1K 229 22
                                    

"Dulu pernah sedekat nadi, sebelum pada akhirnya sejuah matahari. Tahu itu apa? Kita."

**

Minggu pagi yang biasanya selalu identik dengan rebahan dan istirahat, kali ini sepertinya tidak berlaku bagi Ali. Pagi-pagi sekali, ketika jam dinding masih menunjukkan pukul 8 pagi, Ali sudah rapi dengan sweater putih dan celana bahan berwarna beugi. Pria itu keluar dari kamarnya sambil mendorong dua koper di sisi kanan dan kirinya. Tak jauh berbeda dengan Ali, Safri juga keluar dari kamarnya dengan dua buah koper yang sama besarnya. Keduanya meletakkan koper tersebut di ruang depan.

"Lo yakin nggak mau stay di sini aja?" Ali bertanya kepada Safri sembari menghempaskan tubuhnya di sofa. "Daripada ngekos, Saf," ujar pria itu lagi.

Safri menggeleng. "Enggak deh. Gue ngekos aja. Lo take off jam berapa?"

Ali mengecek ponselnya sebentar, sebelum menjawab. "Jam sepuluh. Udah dapat kos? Jangan buru-buru, Saf."

Setelah mengecek tidak ada yang tertinggal, barulah Safri bisa duduk tenang. "Udah dapat dan udah survei juga. Aman, Bos. Berangkat jam berapa lo?"

"Bentar lagi. Ini lagi nunggu jemputan," jawab Ali melihat arloji di pergelangan tangannya. "Sebelumnya, thanks udah jadi sohib gue dari zaman bahlul."

Jengah, Safri memutar bola matanya. "Gue benci banget kalau tiba-tiba mellow gini. Sukses terus untuk lo, Ar. Bolehlah kapan-kapan balik lagi ke sini."

Senyum tulus terukir di wajah Ali. Pria itu bangkit dari sofa untuk mendekati Safri. "Jemputan gue udah datang. Wish me luck, yo, Saf!"

Keduanya berpelukan singkat, kemudian bertos ria seperti yang sering keduanya lakukan selama ini. "Jangan lupa sama gue lo, Cok!"

"Kagak!" sahut Ali cepat sebelum tergelak.

Ali pun mulai bergerak meninggalkan ruang depan dengan Safri yang membantu membawa kopernya. Bersahabat sejak SMA, mungkin ini pertama kalinya keduanya benar-benar berpisah jauh, dengan jarak yang terbentang intens. Safri sendiri terlihat sedikit berusaha keras untuk mempertahankan ekspresi wajah biasa saja. Untuk perasaannya yang sesungguhnya, tidak ada yang tahu. Begitu barang-barang Ali sudah masuk semua ke dalam bagasi, ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak tahu apakah itu ucapan selamat tinggal untuk bisa bertemu lagi atau ucapan selamat tinggal untuk benar-benar pergi tanpa pernah kembali lagi.

Ali menutup pintu bagasi mobil jemptan, kemudian berjalan untuk berdiri di sisi pintu mobil. Sekali lagi, dia bertos dengan Safri, berusaha menahan ketidakinginannya untuk tetap tinggal. "Gue biasanya benci mellow gini. Tapi, serius, gue sedih, Saf. Ah, anjir. Baik-baik deh lo di sini."

"Lo juga baik-baik di sana. Jangan blokir media sosial gue! Siapa tahu kan, lo tiba-tiba lupa sama gue. Tapi, parah sih, kalau lo lupa gue."

Keduanya tanpa sadar tergelak bersamaan.

"Nggak, nggak. Bye!"

"Safe flight, Bro!"

"Yo'i."

Ali masuk ke dalam mobil, meninggalkan Safri yang masih setia berdiri di dekat mobil jemputan. Senyum pria itu mengiringi kepergian mobil tersebut, sebelum akhirnya hanya tersisa senyuman kecil.

Klasik by CATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang