Cuaca Dubai pada siang hari ini bisa dikatakan baik, dengan tidak adanya tanda-tanda akan turun hujan dan langit tertutup oleh awan adalah suatu kemungkinan yang cukup kecil. Sengatan matahari pada siang hari itu cukup tajam jika dirasakan oleh tubuh Ali yang sudah terbiasa dengan iklim tropis khas Indonesia. Bahkan rasanya mustahil ada sekumpulan remaja yang mencoba tren menggunakan hoodie, sweater rajut, dan pakaian tebal lainnya di siang hari yang terik di Dubai. Jika di Jakarta, Ali sering menemukan beberapa orang yang bahkan masih mau mengenakan pakaian tebal sejenis itu.
Hari ini, Ali berencana untuk pergi, melihat suasana di pusat kota Dubai ditemani oleh Hana, tentu saja. Meski ada mesin canggih bernama Google Map, Ali tidak bisa menaruh seratus persen kepercayaannya di sana, karena ya ... Google Map pernah menuntun Ali ke jalan yang salah. Sejak insiden ke sasar yang penuh drama beberapa tahun yang lalu, Ali jarang menggunakan alat navigasi tersebut. Dia trauma.
Selesai makan siang, Ali ke kamarnya sebentar untuk mengambil ponsel dan berganti baju, berniat untuk langsung turun setelahnya. Namun, diujung tangga, dia berpapasan dengan Athaya yang siang itu tampak santai dengan baju koko dan celana bahannya. Ya, itu menurut Ali sudah masuk ke dalam kategori santai, karena biasanya Athaya lebih sering menggunakan thobes dan tambahan pendukung lainnya.
"Mau ke mana, Arlian?" Athaya menatap penampilan putranya yang jauh dari kata santai yang biasanya ia lihat ketika berada di rumah. "Rapi sekali," komen pria itu lagi.
Ali ikut-ikutan melihat penampilannya sendiri. Penampilannya biasa saja. Dia hanya mengenakan kemeja chambray dan juga celana yang biasanya dia gunakan saat mendaki gunung. "Rapi dari mana, Pa?" Dia bertanya bingung.
"Mau ke mana?" tanya Athaya sekali lagi.
"Mau keluar. Bosen."
"Ya ... kamu satu minggu ini di perpustakaan terus. Sudah pasti bosan. Keluar dengan siapa?"
"Dengan Hana, Pa," kata Ali sambil menekan tombol di sisi pintu lift yang disusul pintu dua sisi kotak besi raksasa di depannya terbuka.
"Rencananya keluar naik apa?"
"Dubai Tram? Kayaknya tadi Hana bilang itu ke aku," jawab Ali ragu-ragu.
Athaya berdecak pelan. "Kamu punya SIM Internasional?"
Ali mengangguk. "Tapi, aku belum percaya diri untuk pakai setir kiri," aku Ali kemudian keluar keluar ketika pintu lift sudah terbuka, menandakan jika mereka sudah tiba di lantai utama.
"Belajar," kata Athaya tegas. "Jangan malas," tambah pria itu.
"For your information, Pa. Aku bahkan lebih sering naik kereta api di Jakarta. Baik itu pergi ke kantor ataupun jalan-jalan. Aku memang males banget nyetir," ungkap Ali tenang. Lagi pula, rasanya lebih menyenangkan duduk di kursi penumpang sambil melihat-lihat keadaan di luar sana. Terlebih jika berbicara tentang Jakarta, rasanya jauh lebih efektif dan juga efesien saat naik kereta api ataupun TJ. Itu sudah yang paling aman, kalau kata Ali. "Dan aku orangnya nggak cukup sabar untuk terjebak di dalam kemacatan sampai berjam-jam," info Ali menambahkan.
"Papa enggak akan pernah bisa menang kalau bicara sama kamu, Mas. Papa menyerah. Hati-hati di jalan," ujar Athaya mengakui kekalahannya dengan berat hati. "Singgah ke tempat Arza. Dia terus mengomel karena kamu enggak mau lihat dia."
Ali mempertemukan ibu jari dan juga jari telunjuknya sehingga membentuk kata OK. "But, kalau Papa mau belikan aku motor, bisa dipertimbangkan," katanya sambil berkedip jenaka.
"Jangan harap! Lebih baik kamu naik Dubai Tram ke mana-mana, dibandingkan Aliana ngamuk ke Papa."
"Ok! Aku bisa beli sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Klasik by CA
Fanfic"Sayang, ini pertama kalinya aku belanja sepuluh juta dapat banyak, ih!" "Iya, Beb, iya." ** Ali tidak tahu mengapa dia bisa begitu mencintai gadis manja sekaligus perempuan yang hidupnya seperti tuan putri itu. Padahal sejak dulu Ali paling menghin...