**
Sepasang netra Ali terbuka cepat, terlihat membola ketika melihat langit-langit kamar yang asing baginya. Tangannya terangkat, bergerak menyentuh pipinya yang terasa lembab dan basah. Ali kontan terpaku. Matanya melihat jemarinya yang baru saja ia gunakan untuk menyentuh pipinya. Dia juga tiba-tiba saja melihat pada kemeja yang dikenakannya, lalu kembali terdiam.
Enggak. Enggak mungkin.
"Enggak mungkin." Mulutnya merancau dengan kepala yang menggeleng kuat. Dia turun dari tempat tidur, berjalan panik keluar dari ruangan. Kakinya terpaku di ambang pintu ketika melihat Safri yang duduk di sofa, yang juga melihat kepadanya.
"Mimpi buruk lo?" Safri meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja setelah sempat menyesapnya sebentar. "Lo baru pulang tadi pagi. Enggak usah ke sana lagi," lanjutnya ketika melihat Ali hanya diam, tidak menanggapi ucapannya.
Ali berjalan mendekati Safri dan duduk di space yang kosong di sofa panjang. Kepalanya disandarkan di badan sofa sambil mendongak dengan mata yang terpejam. "Gue mimpi buruk," akunya setelah terjadi keheningan di ruangan tersebut.
"Ar, ini seandainya. Seandainya Prilly enggak selamat. Apa yang akan lo lakukan?"
Terdengar tawa getir lirih dari Ali dengan kepalanya yang masih mendongak. "Melanjutkan hidup. Apa lagi yang bisa gue lakukan selain itu?"
Tanpa Ali tahu, Safri sudah sejak tadi mengamati ekspresinya tanpa berpaling, berusaha mencari kejujuran di sana. "Tapi, kelihatannya enggak. Mengingat bagaimana lo hidup selama satu minggu ini setelah Prilly dinyatakan koma, gue enggak yakin. Seakan-akan lo siap untuk ikut kalau dia enggak selamat. Bilang kalau gue salah." Tidak ada keramahan sama sekali di wajah Safri ketika melontarkan kalimat-kalimat tersebut. Matanya bahkan semakin tajam melihat Ali yang terlihat tidak peduli. "Gue bener?"
"Gue enggak sebodoh itu."
"Lo sebodoh itu." Suara Ali disambar tak kalah cepat oleh Safri yang sepertinya sudah menahan kekesalannya. "Enggak dulu ataupun sekarang. Lo memang sebodoh itu untuk urusan percintaan. Lo memberikan seratus persen diri lo untuk orang yang lo suka, meninggalkan akal sehat lo di belakang. Lo denger gue baik-baik ya, Ar. Jangan jadi gila lagi karena perempuan."
Ali hendak membalas, tetapi diurungkan ketika melihat Aksel keluar dari salah satu ruangan sambil mengosok-gosokkan rambutnya dengan handuk. Laki-laki itu berhenti di dekat sofa, memandangi Ali dan Safri secara bergantian, kemudian berdecak. "Lo berdua mending nikah aja deh. Capek gue lihat kalian cekcok mulu."
"Gue normal!" seru Safri tidak terima, menatap Aksel dari balik gelasnya.
"Yaaa kalau normal, bisa enggak berhenti berinteraksi seakan-akan lo sedang cemburu, Saf?"
"Gue enggak cemburu, Cok!"
"Lo cemburu," kata Aksel terlihat tidak mau mengalah. "Safri cemburu. Lo cemburu. Safri is gay."
"Si bangsat. Sini lo!"
"Safri gay!"
Di tempatnya, tangan Ali sibuk mengurut pelipisnya yang terasa semakin berat karena lelucon Aksel yang suka berlebihan memancing emosi orang, termasuk dirinya sendiri. Marah-marah ke temannya yang satu itu juga tidak ada gunanya. Aksel justru semakin senang jika ada yang berhasil terpancing dari mulut bocornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klasik by CA
Fanfiction"Sayang, ini pertama kalinya aku belanja sepuluh juta dapat banyak, ih!" "Iya, Beb, iya." ** Ali tidak tahu mengapa dia bisa begitu mencintai gadis manja sekaligus perempuan yang hidupnya seperti tuan putri itu. Padahal sejak dulu Ali paling menghin...