28. Satu Kesempatan

1.5K 261 40
                                    

Aliana menghentikan gerakannya yang hendak menggeser sliding door menuju area kolam renang ketika matanya mendapati putranya di sana, tengah duduk di tepi kolam renang dengan memasukkan kedua kaki ke dalam air. Namun, bukan hal tersebut yang membuat Aliana membatu, melainkan asap yang terus dihembuskan dari mulut putranya. Selama ini, sekalipun dia tidak pernah melihat putranya menyesap rokok ataupun benda sejenisnya. Aliana tahu, tentang betapa bebasnya pergaulan Ali di Jakarta. Dia tahu, tetapi memilih untuk bungkam lantaran terlalu takut kembali menjadi penyebab putranya berada di kondisi antara hidup dan mati seperti bertahun-tahun yang lalu. Aliana terlalu lemah untuk mengekang Ali sejak kejadian itu, dikarenakan rasa bersalah yang masih saja menyelimutinya hingga detik ini.

Setelah banyak waktu yang dihabiskan untuk terlihat baik-baik saja, Aliana menggeser sliding door dan menyusul putranya duduk di tepi kolam renang. Ali yang menyadari keberadaan sang mama, langsung membatalkan niatnya yang ingin menyesap cairan liquid. Dia menjauhkan driptip dari mulutnya, dan membatalkan keinginan apa pun yang hendak dia lakukan tadi. Namun, sebaik apa pun Ali berusaha menutupi semuanya, sisa-sisa asap yang terlepas di udara sudah menjawab semuanya. Tentang betapa dia nyaris menggila malam ini.

"Maaf, Ma." Kata itu meluncur ragu dari mulut Ali setelah hening yang menjeda cukup lama di antara keduanya. Kepalanya tertunduk, menatap vape dalam genggaman tangannya yang tremor dengan sangat kentara.

"Kamu tremor, Mas? Udah minum obat?" Aliana ikut menunduk dan menoleh untuk bisa melihat wajah putranya, tetapi Ali langsung membuang wajahnya dari pandangan Aliana. "Jawab, Mama! Kamu udah minum obat?" desaknya sembari meraih jemari tangan putranya untuk ia peluk dengan kedua telapak tangannya.

"Arlian, jawab Mama." Aliana kembali bertanya dengan nada yang sarat akan desakan keras.

"Sudah terhitung 24 jam, aku putus obat," gumam laki-laki itu sambil berusaha keras menarik jemarinya yang digenggam oleh sang mama. "Aku baik-baik aja," tambahnya kemudian ketika tidak mendengar tanggapan apa-apa dari Aliana.

"Putus obat karena keputusan psikiater kamu?"

"Aku takut ketergantungan." Jawaban Ali langsung disambar teriakan menggelegar dari sang mama tanpa jeda setelahnya. "Aku takut, Ma," katanya lagi, tidak mengidahkan teriakan sang mama. "Aku takut ketergantungan." Dia kembali mengulangi pernyataannya seakan tidak takut menerima amukan apa saja yang akan diterimanya kali inu.

"Kamu sudah sebelas tahun konsumsi obat dan bagaimana bisa tiba-tiba putus obat tanpa anjuran psikiater, Mas?!" Pecah. Teriakan Aliana kembali mengudara, terdengar sampai ke dalam rumah hingga membuat Agam yang berada di dapur buru-buru mendekati pintu geser. "Depresi major kamu butuh waktu seumur hidup untuk perawatan dan kamu bilang takut ketergantungan? Lalu, bagaimana dengan bipolar, anxiety disoder, dan BPD kamu? Apa yang akan kamu lakukan untuk mengatasi itu semua?!"

Agam meletakkan kembali gelas yang tadinya hendak dia isi dengan air minum dan menyusul ke area kolam renang. Kedua tangannya segera bergerak untuk menjauhkan Aliana dari Ali yang terlihat sama sekali tidak terpengaruh dengan teriakan sang mama.

"Tenang, Sayang. Jangan meneriaki Arlian seperti itu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Agam berusaha menjadi penengah antara ibu dan anak itu, sekalibus menjadi pihak yang berusaha untuk tetap tenang.

"Baik-baik kata kamu?" Aliana memberontak, berusaha menjauhkan lengan sang suami yang masih memeluk pundaknya. "Aku bisa saja kehilangan anakku karena hal ini. Dia sudah putus obat sejak 24 jam yang lalu dan bagaimana bisa aku tenang? Arlian, berdiri kamu!"

"Aliana, jangan seperti ini. Teriakan kamu akan membuat Arlian merasa tertekan dan tersudut." Sekali lagi, Agam berusaha membujuk istrinya dan membujuk putra tirinya agar mengangkat kedua kakinya dari dalam air. "Bangun, Mas. Nanti kamu masuk angin," kata pria itu masih berusaha menahan sang istri yang hendak mendekat ke arah Ali.

Klasik by CATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang