Keadaan begitu hening di dalam ketika hujan tidak berhenti mengguyur dengan derasnya di luar sana. Tidak ada suara keributan seperti beberapa waktu yang lalu. Meski tidak bisa dikatakan jika suasana hati dua orang yang berada di dalam bisa dikatakan baik. Ali, pria itu terlihat amat fokus menyetir dan sesekali mengeratkan cengkeraman tangannya pada roda kemudi. Tidak ada yang bisa didapatkan lebih banyak melalui ekspresi wajah pria itu. Dia terlihat baik-baik saja setelah melontarkan segelintir kalimat menyakitkan kepada gadis yang duduk di sebelah kirinya. Tidak ada tanda-tanda penyesalan di wajahnya.
Ketika mobil yang dikendarainya mulai bergabung dengan mobil lain di lautan bernama kemacatan cengkeraman Ali pada roda kemudi mulai mengendur. Gerah, tangannya tanpa sadar melepas kancing pergelangan tangan sebelah kiri kemejanya dan menggulungnya sampai di bawah siku. Ali tidak sadar jika keputusannya itu memperlihatkan perban putih yang melilit pergelangan tangan kirinya. Lilitan perban putih itu tidak luput dari bidikan mata tajam Prilly. Namun, gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam memperhatikan dengan saksama, terlebih ketika Ali meringis pelan. Pelan, tetapi Prilly bisa mendengarnya dengan jelas. Prilly tidak tahu luka di pergelangan tangan kiri pria itu sedalam apa, tetapi yang jelas itu cukup menyakitkan untuk digerakkan terlalu sering.
Prilly diam membisu seakan perban putih yang sejak tadi diliriknya sama sekali tidak menganggu di matanya. Ada berbagai jenis pertanyaan yang ingin Prilly lontarkan saat ini. Namun begitu sadar jika dia tidak berada dalam area wajib untuk penasaran, Prilly mengurungkan niatnya dalam-dalam.
Bunyi nada dering panggilan memecah keheningan di dalam mobil, terlepas betapa berisiknya suasana di luar sana dikarenakan suara hujan yang terus terdengar jatuh beramai-ramai. Untuk kedua kalinya, Ali menepikan mobilnya di badan jalan untuk menerima panggilan yang terus mendesak, meminta perhatian prioritas detik itu juga.
"Halo, Tante?" Ada kecemasan yang menyelimuti benak Ali begitu panggilan dari mama Xiera, ia terima. Jari-jarinya mengetuk tak tenang pada roda kemudi, menunggu mama Xiera menyahut di seberang sana.
"Halo, Arlian? Puji Tuhan, Xiera sudah sadar. Jam kunjungan masih ada satu jam lagi kalau kamu mau ke sini. Aksel juga masih di sini."
Diam-diam Ali melepaskan sebongkah batu yang sejak tadi memenuhi seisi dadanya. Dia lega untuk Xiera yang sudah kembali mendapatkan kesadarannya dan melewati masa kritis setelah berjuang berjam-jam di ruang ICU. Bahkan tanpa sadar Ali tersenyum hangat ketika dia mengiyakan ucapan mama Xiera di seberang sana. Pria itu terlihat lebih baik dari beberapa waktu yang lalu.
"Kita ke rumah sakit sebentar, ya, Ly? Aku janji, ini bakal sebentar," ujar Ali ketika panggilan dengan mama Xiera sudah selesai.
Ponsel Ali diletakkan begitu saja di atas dashboard sehingga Prilly bisa melihat sekilas wallpaper milik mantan kekasihnya itu. Prilly tersentak kecil. Gadis itu seakan baru saja melihat sesuatu yang mengejutkan di layar ponsel Ali. Dia terlihat diam, tampak sedang termenung.
"Kenapa, Ly?" Ali membagi fokusnya beberapa saat untuk sekadar melihat Prilly di sisi kirinya. Sepertinya pria itu juga menyadari ketersentakan Prilly tadi. "Are you ok?"
Prilly diam, terlihat ragu-ragu untuk bersuara. Jemarinya terlihat meremas pelan gaun yang dikenakannya. "Mau jenguk siapa di rumah sakit?"
"Xiera."
Suasana hati Prilly yang sejak tadi sudah buruk, semakin jatuh ke bawah ketika mendengar sepenggal nama yang tak lagi asing di ingatannya. Xiera adalah adalah salah satu dari beberapa perempuan yang tidak bisa sama sekali Prilly sukai keberadaannya di dekat Ali sejak dulu. Iya, Prilly tahu jika dia hanyalah orang baru di kehidupan Ali dibandingkan Xiera yang sudah bersahabat sejak lama dengan pria itu. Namun, keberadaan Xiera yang tidak pernah membentang jarak yang sedikit jauh dari Ali terkadang membuat mata Prilly risih. Dari kacamata perempuannya, Prilly bisa melihat dengan jelas ada ketertarikan di mata Xiera ketika menatap Ali yang kala itu masih berstatus sebagai kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klasik by CA
Fanfiction"Sayang, ini pertama kalinya aku belanja sepuluh juta dapat banyak, ih!" "Iya, Beb, iya." ** Ali tidak tahu mengapa dia bisa begitu mencintai gadis manja sekaligus perempuan yang hidupnya seperti tuan putri itu. Padahal sejak dulu Ali paling menghin...