30. My Dear ...

1.5K 263 57
                                    

Jayden berdiri di tengah ruangan utama, kedua tangan berkacak pinggang dengan kepala yang mendongak ke atas. Napasnya menderu berat, sebelum kembali menatap orang-orang yang berbaris dengan baik di depannya. Dia menatap wajah orang-orang di depannya satu per satu tanpa terlewat, terkesan mengintimidasi dengan aura yang kuat. Tidak ada yang berbicara di antara mereka, pun tidak ada suara jika saja tangisan Megan bisa berhenti untuk beberapa saat. Jayden mendecak keras, terlihat kekesalannya tidak akan terlupakan semudah membalikkan telapak tangan.

"Mama bisa diam?! Tangisan Mama tidak akan memperbaiki apa-apa!" Suaranya menyentak keras, tajam, tegas, dan penuh amarah. Kepalanya tertoleh sigap, menghujam Megan yang terduduk di lantai dalam keadaan terburuknya; rambut tidak ditata rapi, wajah pucat tanpa polesan make-up, dan jejak-jejak air mata yang tak sudi untuk mengering. Jayden sudah menyaksikan dan mendengar semua ocehan Megan sejak tadi, tepatnya tiga jam belakangan ini dengan sang mama yang tetap berada di tempat, tanpa berniat beranjak sekadar hanya untuk istirahat. "Diam, Ma!" yang dibalas dengan, "mama minta maaf," oleh Megan. Yang mana tiga kata tersebut, jika bisa protes, mereka sudah berdemo sejak tadi.

Merasa jika tidak ada jalan keluar untuk mengatasi kesedihan dan penyesalan Megan, Jayden kembali mengembalikan fokus, sepenuhnya berusaha tidak peduli dengan apa yang Megan katakan diiringi air mata penyesalan di belakang sana. Pandangannya kembali lurus ke depan, menatap para pekerja yang masih setia berdiri pada posisi mereka masing-masing.

"Dengar baik-baik. Kejadian apa pun yang Anda lihat dan dengar di rumah ini, terlebih pada apa yang terjadi hari ini, Saya tidak ingin hal tersebut bocor ke publik, termasuk ke anggota keluarga Danadyaksa di luar rumah ini."

Dia berdiri cukup lama di tempatnya, memberikan perintah dan peringatan keras dengan suara yang tidak keras tetapi tegas. Tidak ada yang berbicara selama Jayden membuka suaranya di depan. Mereka semua diam mendengarkan dan mengangguk ketika setuju. Para pekerja baru dibubarkan setelah Jayden mengatakan, "kembali bekerja," dan mereka semua langsung kembali ke tempat masing-masing. Alih-alih melenggang dari ruang utama, Jayden memutar langkah mendekati sang mama yang masih betah memeluk pigura yang berisikan foto adik perempuannya. Dia bersimpuh, meraih jemari Megan agar berhenti memeluk pigura tersebut, tetapi Megan enggan, kepalanya menggeleng keras.

"Ma." Kali ini suara Jayden terdengar lebih lunak, berusaha membawa Megan pada kewarasan yang sudah lama dilupakan sejak sang adik dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pendarahan yang cukup serius di bagian perut. "Aku sudah sering bilang, berhenti mendukung Prilly dari belakang. Mama punya kekuatan dan hak penuh untuk hal tersebut, karena Prilly adalah anak Mama. Mama enggak seharusnya takut dengan Papa di saat Mama punya tiga anak laki-laki yang bakal jadi pelindung buat Mama. Mama enggak percaya sama aku?" Dia berbicara, berusaha mengalihkan fokus Megan untuk bisa mengambil alih pigura dalam pelukan mamanya tanpa harus ada drama yang lain. "Mama belum makan," yang kemudian dibalas, "adikmu pasti kesakitan," oleh Megan. Jayden tidak mengeluarkan pendapat melalui suaranya lagi. Diambil alihnya pigura tersebut, meletakkannya di lantai untuk bisa memeluk Megan, berharap mereka bisa membagi rasa takut yang saat ini sedang menghampiri.

"Adikmu seharusnya enggak boleh ada, Jayden. Seharusnya Tuhan enggak menitipkan dia ke Mama." Jemari Megan meremas kain kemeja yang dikenakan oleh putranya, memperlihatkan betapa frustrasinya wanita itu menghadapi kesedihan yang dia alami. "Seharusnya——," yang Jayden potong segera, "Berarti Mama menyesal. Mama menyesal menjaga Lily selama sembilan bulan dalam kandungan." Itu bukan pertanyaan. Jayden memberikan pernyataan tegas, menerjemahkan maksud dari ucapan Megan sebelumnya.

"Ketika Mama mengandung Lily, Mama dan Papa sedang dalam proses perceraian. Tinggal beberapa langkah lagi, tetapi kabar kehamilan Mama didengar oleh kakek kamu. Mama tahu kalau kehadiran adikmu saat itu akan membuat papa marah karena menggagalkan perceraian kami. Papamu minta untuk digugurkan, tetapi sayangnya kondisi Lily saat itu cukup kuat. Dia enggak pergi, meski Mama terus berusaha membawanya kembali kepada Tuhan."

Klasik by CATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang