Mata Prilly berkedip lambat, menatap pelafon di atasnya dalam diam. Angin yang bertiup dari luar, menembus masuk dari sela jendela, membuat Prilly dengan segera menarik selimutnya sampai sebatas dada. Gadis itu memejamkan mata untuk beberapa saat, sebelum kembali membuka matanya. Dia menurunkan selimutnya dan kembali memejamkan mata untik beberapa saat.
"You here?" Mulutnya bergumam pelan, ketika matanya sudah kembali terbuka. Dengan cepat disibaknya selimut dari tubuhnya, kemudian melangkah turun. Gadis itu meringis ketika dia memaksakan diri langsung berjalan di saat seharusnya dia duduk terlebih dahulu usai bangun dari posisi berbaring. Dia terduduk sambil meringis dan saat itu matanya seketika terpaku pada arloji hitam yang tersimpan di atas meja nakas.
"Dia di sini." Sekali lagi mulutnya kembali bermonolog. Tangannya menyambar arloji hitam tersebut, kemudian bangkit. Dengan langkah yang pelan dan stabil, Prilly berusaha mencapai pintu di depan sana. Tangannya terangkat, mengayun handle pintu begitu pelan hingga tercipta sela untuk dirinya lewat.
"Aku mau cek perkebunan dan tadi lihat mobil kamu di halaman villa. Makanya mampir."
Prilly terpaku, matanya berhenti bergerak pada satu titik di depan sana, pada Mawar yang duduk di kursi bar sambil membuka balutan perban di lengan kiri Ali. Keduanya duduk berhadapan dan terlihat jika Ali sama sekali tidak menolak pengobatan ringan yang diberikan oleh mantan kekasihnya tersebut.
"Ah, tadi aku juga papasan dengan mama kamu di jalan. Tante Aliana di sini juga, ya?"
"Hem. Di villa yang nggak jauh dari sini."
"Kenapa mama kamu masih baik banget sama aku? Tadi bahkan tante Aliana yang lebih dulu sapaku. Dia tanya kabarku juga. Padahal—
"Mama bukan orang yang suka menyimpan dendam. Aku juga udah menjelaskan semuanya ke mama."
"Tahu nggak, tadi aku bilang apa ke mama kamu?"
"Apa?"
"Tante, makasih udah mengizinkan saya untuk kenal keluarga Arlian dengan baik."
"Kenapa bilang begitu?"
"Hng ... nggak tahu. Kadang ya, aku suka ngomong sesuatu yang aku sendiri nggak tahu artinya apa."
Pelan, Prilly kembali menutup pintu kamarnya, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Punggungnya bersandar di badan pintu dengan jemari yang saling bertautan. Mimik wajah gadis itu terlihat mendung, serupa dengan suasana di luar sana yang sedang turun hujan deras. Sambil mengatur deru napasnya, Prilly kembali ke ranjangnya dan berbaring di sana tanpa memperdulikan rasa lapar yang mendera perutnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan terhitung sejak siang, dia belum menelan apa pun. Namun sekarang, pikirannya yang bercabang menelan habis niatnya untuk makan. Melihat bagaimana hangatnya interaksi sepasang mantan kekasih itu membuat Prilly sadar jika Ali memang sehangat itu. Laki-laki itu baik ke semua orang, sekalipun ke orang yang sudah mengecewakannya. Dan kini semuanya terjawab mengapa laki-laki itu masih bersikap baik dan memberikan kepeduliannya kepada Prilly di saat mereka sudah tidak memiliki ikatan status apa-apa. Hal itu terjadi karena laki-laki itu memang seperti itu. Ali baik, Prilly tahu. Tapi, sepertinya laki-laki itu memang hanya bisa dijadikan teman cerita dan sahabat. Ya, hanya sebatas itu. Sebab, memiliki Ali seutuhnya terlihat sangat sulit. Bukan karena hatinya sulit didapatkan, tetapi untuk membuat Ali berhenti memberikan perhatian kepada semua orang termasuk mantan kekasihnya sepertinya tidak akan mudah.
Jika diingat-ingat kembali, sebelum Prilly mendapatkannya, Ali memang sangat menyayangi Mawar. Laki-laki itu bahkan terlihat rela melakukan apa saja untuk mantan kekasih sekaligus mantan tunangannya tersebut. Jika kata Safri, keduanya bertemu di satu frekuensi sama. Terlebih ketika Prilly tahu jika Ali pernah dirawat di RSJ selama enam bulan setelah perselingkuhan Mawar yang terkuak malam itu. Hal tersebut sudah cukup menjadi bukti bagaimana terpukulnya laki-laki itu atas fakta yang diterimanya dan itu menyakiti Prilly.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klasik by CA
Fanfiction"Sayang, ini pertama kalinya aku belanja sepuluh juta dapat banyak, ih!" "Iya, Beb, iya." ** Ali tidak tahu mengapa dia bisa begitu mencintai gadis manja sekaligus perempuan yang hidupnya seperti tuan putri itu. Padahal sejak dulu Ali paling menghin...