03. Keputusan Sulit

5.2K 135 0
                                    

Matahari sudah digantikan oleh rembulan. Di apartemen milik Brill, Deon masih menemani wanita itu yang sekarang tengah terlelap di pelukannya setelah menangis sampai sesenggukan tidak berhenti.

Deon menghela napas panjang, mengusap jemari Brill yang sejak siang tidak ia lepaskan. Merasa bersalah sudah membuat Brill menangis.

Seharusnya tidak seperti ini, seharusnya dia tegas menentukan pilihan. Tapi ini begitu berat untuk ia lakukan.

Ponsel Deon yang ia taruh di nakas bergetar lagi, panggilan masuk dari nomor yang sama. Nomor yang sejak sore tadi menghubunginya, tapi Deon tidak berniat untuk menjawab panggilan tersebut.

Sebenarnya, malam ini ia sedang ada janji dengan kedua orang tua Saron untuk membahas mengenai gedung pertunangan. Tetapi, melihat kondisi Brill yang sangat kacau, Deon tidak tega meninggalkan wanita ini sendirian. Apalagi Brill hidup seorang diri di apartemennya.

Sudah handuk ke tiga yang Deon taruh di dahi Brill, wanita yang sudah lima bulan lalu menjadi wanita spesialnya masih demam. Ketika Deon ingin membawa Brill ke rumah sakit, dia menolak dengan alasan takut akan jarum suntik dan takut dirawat karena maag akut.

"Engghhh...." Brill berusaha untuk mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, lalu Deon dengan sigap membantunya.

"Deon," panggil Brill, lirih.

"Aku di sini."

"Kenapa kau masih di sini?"

Deon menarik napas dalam, memangnya kenapa jika dia ingin menemani Brill melewati demamnya. Hanya karena tadi siang Brill meminta untuk mengakhiri hubungan mereka, itu tidak membuat Deon melakukannya.

"Memangnya kenapa, kau keberatan aku ada di sini?" tanya Deon, berusaha menekan suaranya agar tidak terdengar marah.

"Aku sudah bilang—"

"Berhenti mengatakan hal bodoh, Brill!" tukas Deon.

Brill menoleh, menatap wajah Deon yang masih terlihat dengan sorot lampu temaram di kamarnya. Wajah Deon yang memerah karena menahan kesal dan marah. Selalu begitu, Deon selalu marah jika Brill mengungkit hubungan mereka, ia tidak terima saat Brill mengatakan ingin mengakhiri ini semua.

Tapi, dari awal pun Brill tahu ini tidak benar. Hubungan mereka tidak semestinya berjalan sejauh ini.

"Hal bodoh, katamu?" tanya Brill, ia berusaha untuk bersandar di sandaran ranjang.

"Aku tidak ingin melepaskanmu!"

"Lalu, kau juga tidak ingin melepaskan Saron, bukan? Aku tidak mau cintamu terbagi, Deon." Brill menyeka air matanya yang hampir turun.

Menghela napas, Deon mengusap kasar wajahnya. Ia juga tidak tahu harus bagaimana. Pertunangan sialan ini, sebentar lagi akan terjadi.

"Tapi—"

"Sudahlah Deon, kau pasti bisa melupakanku."

"Brill." Deon mengusap jemari Brill dengan lembut, sesekali juga menciumnya.

"Mau sampai kapan kita akan seperti ini, Deon?"

Deon ingin sekali menjawab, "Sampai Brill, menjadi miliknya seutuhnya."

Tapi, dia tidak punya keberanian untuk mengatakan itu semua. Jadi Deon hanya diam sambil merenung, membuat Brill selalu bertanya, apakah perasaan Deon benar nyata atau hanya nafsu semata.

***

Dua hari kemudian....

Brill mulai masuk kuliah lagi, ia bersama Anette sedang mengerjakan tugas analisis sebuah buku dari karya penulis puisi terkenal. Jadi beberapa hari ke depan Brill akan sibuk di perpustakaan.

Forbidden RelationShit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang