07. Pengakuan

3.5K 117 2
                                    

Mendengar Brill menceritakan apa yang terjadi padanya, kemarin. Deon semakin yakin untuk memberontak saat Ayahnya terus memaksa. Ia tidak mau dipaksa lagi, harus berpura-pura menyayangi Saron dan lembut padanya, padahal dia tidak menyukai Saron dan semua tingkah laku gadis itu.

Tapi, ketika ia ingin menyampaikan niat untuk mengatakan terlebih dahulu pada Saron. Sebuah kabar tersiar yang membuat Deon urung.

Mama Saron terkena serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya memburuk, membuat Deon tidak tega untuk mengatakan hal yang menyakitkan lagi pada Saron.

Ia menemani Saron yang menangis sambil terus memanggil Mama, sementara Mamanya sama sekali tidak bergerak.

"Sudah," bisik Deon.

Saron menggeleng samar, wanita itu tetap saja menangis. Jika saja Deon tidak memegangi tubuhnya, ia yakin Saron sudah terduduk di lantai saking lemas dan terlalu lama menangis.

Sayang sekali, Papa Saron sedang mengurus bisnis di luar kota. Beliau baru bisa pulang besok, dan Saron harus menerima kenyataan ini sendirian.

"Mama," panggil Saron lemah.

Deon menarik Saron untuk mendekat padanya, lalu membawa wanita itu keluar dari ruang rawat inap, mendudukkannya di bangku tunggu. Ia berjongkok, memperhatikan wajah Saron yang memerah karena menangis. Sepanjang ia bersama Saron karena pemaksaan ini, Deon baru melihat tangis tulus seorang Saron kali ini.

Tangis pilu yang ditujukan pada Mama, di mana dia sangat takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

"Mama sudah ditangani, sayang."

"Aku takut," suara Saron bergetar.

"Dia sudah baik-baik saja. Jangan menangis lagi, matamu membengkak."

Saron mengangguk perlahan.

***

"Brill sudah memiliki seorang kekasih, Pa," kata Brill.

Mama dan Papa saling pandang, terkejut. Pasalnya Brill tidak pernah terbuka dengan hubungannya bersama seorang laki-laki. Terakhir kali Brill membawa seorang laki-laki saat usianya baru 17 tahun.

"Siapa, Brill?" Papa beringsut menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang, dibantu Mama.

Brill menarik napas dalam, sebelum mengucapkan satu nama yang membuat rahang Papa mengeras. Tatapan tidak suka langsung terlihat, Papa memang tipe lelaki yang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya.

"Deon."

"Kau gila?" sambar Papa.

"Brill, bukankah Deon akan menikah?" tanya Mama lembut.

"Jangan bilang kau menjalin hubungan dengannya sudah lama?"

Brill menoleh pada Papanya yang seperti ingin turun dari ranjang, menghampirinya. Lalu mungkin akan menamparnya begitu keras, sama seperti saat Brill menolak untuk mengelola perusahaan, dulu.

"Sudah sangat lama," ungkap Brill bohong.

"Kau benar-benar, Brill." Papa memalingkan wajahnya.

Brill menarik napas dalam. "Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pergi."

"Kau harus bertemu Lexton, malam ini!"

"Aku tidak mau, Pa."

Papa membanting gelas yang ada di dekatnya, membuat Brill dan Mama begitu sangat terkejut. Brill dengan cepat menoleh pada Mama, memastikan wanita itu tidak terluka sedikitpun.

"Berhenti melakukan hal yang membahayakan Mama!" sentak Brill, kesal.

Sedari tadi ia sudah menahan mati-matian semua emosinya. Tapi, jika menyangkut tentang Mama, Brill tidak bisa. Tidak ada yang tahu, bahwa sebenarnya Papa memiliki seorang kekasih juga di belakang Mama, Brill tahu itu. Maka, saat ia melihat Mamanya mati-matian merawat Papa dan berusaha sabar menghadapi sikap Papanya itu, Brill amat menyayangi Mama.

Forbidden RelationShit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang