16. Ancaman

4.7K 190 33
                                    

Pergerakan janin yang sudah mulai terasa dan kuat, sering kali membuat Brill kesakitan. Di usia kandungannya yang sudah memasuki tujuh bulan, Brill merasa bayi di dalam kandungannya semakin berat.

Ia harus membawa gumpalan menggemaskan di perutnya ke mana pun ia pergi dan ke mana pun ia beraktivitas.

Hari ini, Brill sengaja menahan Deon untuk tidak pergi ke kantor karena perutnya sejak semalam terasa kram. Bukan hanya di sana, melainkan pinggulnya juga yang nyeri.

"Kau terlalu banyak melakukan senam bersama Anette kemarin," gerutu Deon, memijat pinggul Brill.

"Kemarin aku libur, Deon."

"Lalu, apa?"

Brill menggeleng.

Suasana jadi heninng karena mereka sama-sama sibuk dalam pikiran masing-masing. Sampai ketukan pintu membuat mereka tersadar. Deon beranjak dari atas kasur, berjalan perlahan menuju pintu dan melihat siapa yang datang.

"Kau? Ada apa?"

Deon menaikkan sebelah alis, ketika salah satu bodyguardnya memberikan secarik surat. Tanpa bertanya lebih detail, agaknya ia sudah mengerti dengan situasi ini.

"Siapa Deon?"

Brill menyembul dari balik punggung tegap Deon. Dengan gerakan cepat pula, Deon memasukkan surat itu ke dalam saku.

"Orang suruhanku," jawab Deon enteng, sembari merangkul bahu sang kekasih. "Ayo sarapan, kau pasti menyukai hidangan pagi ini."

Mereka berdua berjalan menuju meja makan. Dari sana, Brill dapat melihat pemandangan kolam renang dan debur ombak lepas di pantai yang tidak begitu jauh.

Brill suka berlama-lama di meja makan, karena ia bisa dengan puas melihat pemandangan itu, tanpa harus bersusah payah ke sana. Villa Deon sangat cocok dengan seleranya.

"Aku bisa terkena diabetes jika kau terus seperti itu," celetuk Deon, mengangsurkan piring berisi pancake.

"Maksudmu?" Brill sampai menelengkan kepala demi menangkap maksud dari perkataan Deon.

"Iya, senyummu itu. Manis sekali."

Wanita itu tertawa mendengar ucapan Deon.

Menikmati tawa dan senyum manis Brill adalah sebuah keberuntungan dibalik kecemasan yang menyelimuti perasaan Deon. Menyembunyikan Brill hampir satu bulan di sini, nyatanya tak pernah membuatnya tenang. Deon selalu berpikir akan rencana apa yang sedang disiapkan orang-orang untuk menghancurkan kebahagiaannya.

Deon mengusap sisi wajah Brill, menatap wanita itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Sementara Brill dengan tenang masih menikmati sarapan di depannya.

***

"Tumben sekali kau tidak menyukainya," celetuk teman Saron.

Saron mengembalikan tas keluaran terbaru yang terpajang di etalase. Menghela napas, ia kembali berjalan menyusuri deretan tas mahal yang baginya tidak menarik.

Ia kehilangan minat belanja. Padahal, sejak dulu Saron suka sekali mengoleksi tas mahal keluaran terbaru.

Kehidupannya begitu hampa semenjak Deon pergi tanpa jejak. Sesuatu yang mengganjal dalam hati, ingin sekali diledakkan dalam waktu terdekat. Tapi sayangnya, objek sesungguhnya tidak ada di depan mata.

"Kau ingin membeli apa?" tanya Netty, sedikit kesal. Hampir satu jam lebih berkeliling di mall besar ini, tapi Saron tidak membeli apapun.

"Saron," panggil Netty lagi.

"Kau bisa diam tidak!" ketus Saron, risi.

Wanita itu menatap tajam Netty dan melangkah pergi duluan. Suasana hatinya sedang tidak baik.

Ketika Saron hendak berjalan menuju llift, ia tidak sengaja menemukan Deon di sebuah toko perlengkapan bayi.

"Tidak salah lagi, itu Deon."

Dengan langkah lebar, Saron menemui Deon. Punggung tegap itu masih sama, kemeja putih dengan dasi biru tua sangat pas di tubuhnya. Apakah mungkin, pakaian yang cocok itu juga campur tangan dari Brill? Membayangkan hal itu saja sudah mampu membuat Saron kebakaran jenggot.

"Deon?!"

Saron memeluk tubuh tegap Deon dari belakang. Tidak berlangsung lama, karena setelah Deon mengenali suaranya, ia melepaskan lengan Saron begitu saja.

"Kau jahat sekali, bisa-bisanya kau meninggalkan aku?"

Deon diam. Ia menerima belanjaan dan kartu debitnya, lalu berjalan tanpa menggubris ucapan Saron. Hal yang baginya sama sekali tidak penting, dan ia malas mencari banyak masalah.

"Deon, kau benar-benar berengsek!" teriak Saron, mengundang banyak pasang mata untuk menatap mereka.

Namun, bukan Deon namanya, jika tidak bisa mengendalikan keadaan. "Sekali pun aku berengsek, kau tidak akan bisa berpaling dariku, bukan?" ucapnya, angkuh.

"Lihat saja, Papaku akan memberikan pelajaran padamu!"

"Aku menunggunya."

Deon menatap Saron dengan tatapan datar, tapi berbeda dengan hatinya yang berdebar tak karuan.

***

"Kau kenapa, Deon?"

Brill menerima belanjaan dari Deon dan menatap aneh pada kekasihnya yang terlihat sangat terburu-buru menyalakan mesin mobil.

Tidak seperti biasanya, Deon tidak menjawab. Barulah ketika sampai di jalan raya, Deon seperti menghela napas lega.

"Kenapa?" tanya Brill sekali lagi.

"Aku bertemu Saron," jujur Deon, menopang sikunya pada jendela mobil. Kepalanya sampai terasa pusing, mengingat ancaman Saron dan juga secarik surat yang ia dapat.

Teror itu belum juga berakhir.

"Lalu? dia bicara apa padamu?"

"Biasa, hanya menginginkan aku kembali. Tidak ada yang serius."

"Kau ingin kembali padanya?" tanya Brill, begitu lirih.

Jujur saja, melihat Deon bersamanya selama ini, masih sering menimbulkan rasa takut jika akhirnya Deon memilih pergi. Hubungan mereka belum bisa dikatakan resmi, karena sampai detik ini, Deon belum pernah membicarakan tentang hubungan yang lebih serius.

"Mana mungkin. Kita sudah sangat lengkap, Brill. Aku, kau, dan baby." Deon meraih jemari Brill, membawanya menuju bibir dan mencium jemari itu dengan tulus.

Sebelum ia beralih pada perut besar Brill, memberikan usapan lembut di sana dengan senyum yang terkembang. Sebanyak apapun pikiran negatif Brill, Deon akan menghapusnya semampu yang ia bisa.

Forbidden RelationShit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang