17. Lexton

2.4K 87 6
                                    

Beberapa hal memang tak selalu berjalan dengan sempurna. Seperti pagi ini, ketika Brill tiba-tiba menangis dan mengadu tentang kue kering buatannya yang sedikit gosong. Hal sepele, yang membuat mood wanita hamil itu menjadi kacau.

"Sudah," bisik Deon lembut, menenangkan sang kekasih.

"Kau tau, aku membuatnya dengan sepenuh hati untukku."

Deon hampir terkekeh geli mendengar Brill merengek. Sifat manja seperti itu memang jarang diperlihatkan Brill. "Bagaimana kalau kita beli saja?" hibur Lexton.

Brill menggeleng. "Aku ingin membuatnya. Dua hari lagi kau ulang tahun, mana mungkin aku memberimu kue yang dijual di toko."

"Brill, kau tidak perlu bersusah payah akan hal itu."

"Tapi, aku mau melakukannya."

Karena tidak tega melihat Brill yang terlihat sangat kecewa. Deon mengambil salah satu kue di nampan dan memakannya. Meski terasa agak pahit, dia tetap mengatakan enak agar Brill merasa lebih baik.

"Benar enak? Kupikir rasanya akan sedikit mengecewakan," ucap Brill, menatap kue di nampan dengan senyum kecil.

"Enak. Hanya saja, kau harus lebih banyak belajar lagi."

"Kalau begitu, kau harus menghabiskan kue ini."

Deon menganga.

Kali ini dia tidak dapat mengatakan apapun, karena Brill sudah berlalu untuk mengambil stoples di lemari kecil dekat kompor. Wanita itu begitu semangat memasukkan kue kering ke dalam wadah.

Brill berbalik, mengangsurkan kue itu dengan senyum manis yang terkembang. "Habiskan, ya, Deon."

*****

"Awasi saja, di sana."

"Baik, Tuan."

Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku, Deon berjalan menyusul Brill yang sedang bermain capit boneka.

Setelah hampir dua bulan Brill merasa terkurung di villa Deon, akhirnya lelaki itu memperbolehkan Brill untuk pergi ke luar. Meski hanya mengunjungi pusat perbelanjaan, Brill sudah sangat senang.

Sayang sekali, Anette tidak bisa ikut.

"Kau lama sekali," kesal Brill.

"Ada telepon penting dari perusahaan." Deon mengajak Brill untuk duduk di salah satu tempat duduk yang ada.

Sambil memperhatikan sekitar, Deon berusaha tetap biasa saja. Sebenarnya, ia tetap waspada pada sekitar karena salah satu bodyguard mengabarinya tentang seseorang yang membuntuti mobil Deon selama perjalanan tadi. Deon sudah menyebar beberapa bodyguard di mall ini untuk berjaga-berjaga.
"Aku haus."

"Kau ingin minum apa, Brill?"

"Apa saja yang segar."

"Ya sudah, ayo beli."

Brill menghela napas. "Kau tidak lihat?" Ia menunjukkan kakinya yang mulai membengkak.

"Lalu?"

"Kau belikan saja, biar aku di sini."

"Tapi ...."

"Kenapa?" Brill mendongak.

Sebenarnya, Brill sudah mulai curiga dengan perlakuan Deon beberapa bulan terakhir. Lelaki itu seperti membatasi semua kegiatan Brill dan selalu mengatur. Bahkan ketika Anette ingin mengunjunginya ke villa, Deon selalu menelepon Anette terlebih dahulu untuk memastikan sesuatu yang Brill sendiri tidak tau.

"Aku tidak akan diculik siapa pun," ketus Brill.

"Kau ini bicara apa?"

Brill mengedikkan bahu. "Lagi pula, tidak akan ada yang berani macam-macam dengan wanita hamil."

Kali ini giliran Deon yang menghela napas. "Ya sudah, biar aku belikan."

*****

Kebiasaan seorang ibu hamil yang usia kandungannya sudah memasuki trimester akhir adalah sering buang air kecil. Itu yang sedang dirasakan Brill sekarang.

Hujan lebat terlihat dari kaca besar yang ada di pusat perbelanjaan, ketika Brill berjalan menuju toilet. Sepertinya Deon akan menyuruhnya untuk lebih lama berada di sini.

Mengingat Deon, tadi Brill belum sempat pamit. Mungkin dia akan kelabakan mencari, tapi biarkan saja, toh Brill juga tidak akan macam-macam.

Lima belas menit.

Brill keluar dari toilet dengan perasaan lega. Ia masih berdiri di depan toilet, mencari parfum di dalam tas, ketika tiba-tiba suara berat dari seorang lelaki memanggil namanya.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Brill?"

Brill menegang.

"Rupanya, kau masih mempertahankan dia?" Seseorang di hadapan Brill menatap perut wanita itu sambil berdecih.

"Bagaimana bisa kau ada di sini?"

"Apa yang tidak kubisa, Brill. Bahkan melenyapkan dia juga bisa."

Brill tersulut. "Jaga ucapanmu, Lexton!"

"Aku hanya bercanda," jawab Lexton santai.

Lelaki ini. Sudah hampir enam bulan Brill hampir melupakannya. Calon tunangan dari perjanjian perjudian Papa. Brill hanya bertemu dengannya tiga kali, lalu setelah Papa mengetahui bahwa Brill hamil dan Lexton marah, dia sudah tidak pernah melihat Lexton lagi.

"Deon sudah berani keluar dari kandang, ya?" Lexton terkekeh, mengejek.

"Apa maksudmu?"

Lexton mengedikkan bahu. "Aku hanya sedang membual."

"Kau merasa bahagia, ya, sekarang. Sudah berhasil bersama Deon dan hampir melahirkan darah dagingnya."

"Seperti yang kau lihat," ketus Brill.

Lexton memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, lalu berjalan perlahan menuju Brill yang tampak santai--sudah bisa menguasai keadaan.

"Hati-hati saja, Brill. Mungkin setelah ini, kau tidak lagi bahagia," bisik Lexton.

*****

"Bodoh! Bagaimana bisa kau kelolosan?"

Deon mendorong bodyguardnya karena begitu kesal. Bagaimana bisa, tiga bodyguard sekaligus tidak melihat ke mana Brill pergi.

"Aku membayar kau mahal-mahal hanya untuk ini," kesal Deon.

Karena tidak ingin jadi pusat perhatian, Deon menyuruh para bodyguardnya untuk pergi. Tepat ketika sosok Brill muncul di tengah keramaian,

"Brill, kau dari mana saja?" tanya Deon khawatir.

"Toilet. Kenapa kau terlihat kacau begini?" Brill merapikan lengan kemeja Deon yang tergulung dan dasi lelaki itu yang berantakan.

Deon menggeleng.

"Lain kali kau harus pamit dulu, Brill."

Brill tertawa. "Kau tenang saja Deon, aku tidak akan hilang."

"Aku khawatir."

Deon dan Brill berjalan untuk keluar dari pusat perbelanjaan sambil bercanda.

"Deon?"

"Ada apa?"

"Tidak jadi."

Mungkin ini bukan hal yang serius. Jadi Brill hanya akan diam dan berpura-pura tidak terjadi apapun. Meski ucapan Lexton yang mengatakan untuk menunggu sesuatu yang akan datang setelah ini, membuat Brill bimbang.

Forbidden RelationShit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang