"Kita terpaksa melakukan ini, Saron. kondisi Mama tidak memungkinkan untuk mengurus pertunangan."
Semua ketegangan di ruang tamu berubah ketika Saron mengatakan jika dirinya tidak keberatan tentang pernikahan yang ditunda. Lagi pula, ia juga tidak ingin menikah tanpa Mama.
"Di mana Deon?" tatapan Saron beralih pada Papa Deon.
"Dia belum pulang," katanya.
Saron menghela napas, padahal Deon mengatakan padanya tadi siang, bahwa malam ini ia akan datang dan berjaga di ruang rawat Mama.
"Hubungi saja Saron." Papa Deon tersenyum ramah.
Ketika Papanya berbincang dengan Papa Deon, Saron berpamitan untuk ke toilet. Dia mencoba menghubungi Deon, tetapi nomornya sengaja tidak diaktifkan.
Saron mengingat kejadian siang tadi, saat dirinya tidak sengaja berciuman dengan Deon, bukan namanya yang disebut oleh lelaki itu, melainkan nama wanita lain. Saron tidak menangkap dengan jelas, dia hanya bisa mendengar "Ana". siapa Ana?
Saron meremas ponselnya bimbang.
***
Malam ini hujan deras mengguyur kota. Petir menyambar-nyambar dengan kilatan yang bisa terlihat melalui korden tipis yang menutupi jendela kaca.
Di kamar apartemen dengan penerangan yang temaram, dua manusia tengah melebur diri mereka menjadi satu. Helai demi helai kain tercecer ke lantai, selimut tebal tidak lagi menutupi keduanya.
Terhitung penyatuan ini sudah berlangsung selama satu jam lebih, bahkan mereka mencapai klimaks satu kali dan kembali pada ronde kedua.
Desahan dan decapan terdengar, diserap oleh tembok polos yang merekam semuanya seperti saksi bisu bagaimana mereka melebur atas dasar cinta.
"Buka matamu, Brill." Deon menyingkirkan helai rambut Brill yang basah karena keringat ke belakang telinga.
Brill menggeleng, ia menggeram tertahan, kenikmatan ini hampir sampai puncaknya dan Brill ingin sekali mengeluarkan sesuatu dari miliknya. Tetapi tertahan karena Deon belum memperbolehkan.
Deon semakin memperdalam miliknya di sana, menggempur Brill dengan hentakan yang lama kelamaan berubah menjadi cepat.
"Bersama, Brill."
Brill semakin meremas punggung Deon, merasa sudah tidak tahan lagi untuk menahan sesuatu yang mendesak ingin segera dikeluarkan. Dalam hitungan detik, sesuatu milik Deon menyembur terlebih dahulu disusul oleh miliknya.
Brill melengkungkan punggungnya saat Deon menghentak lebih keras dan sesuatu yang hangat memenuhi miliknya di bawah sana. Sementara Deon langsung memeluk Brill dengan erat.
Merunduk, Deon mencium kening Brill begitu lama dengan napas yang masih tersengal. "Aku sudah membuktikannya."
Deon menidurkan dirinya di sebelah Brill setelah menutupi tubuh polos mereka dengan selimut tebal. Sementara Brill masih menatap nyalang langit-langit kamar dengan air mata yang mengalir. Di antara rasa sakit kepala akibat mabuk, ia juga masih tersengal.
"Sakit?" tanya Deon, membawa Brill ke dalam dekapannya.
"Maaf jika aku terlalu kasar."
Brill mengangguk kecil, lalu merapatkan tubuhnya pada Deon. "Deon," panggilnya.
"Kau pasti lelah, tidurlah, Brill." Deon mengusap bahu telanjang Brill. Memberi kecupan di sana sebagai ucapan selamat tidur.
Malam ini mereka begitu lelah hanya sekadar untuk membicarakan apa yang sudah terjadi. Bagi Brill, ia tenang karena Deon memilih bersamanya semalaman, tidak kembali pada Saron, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden RelationShit!
Romance☆Versi lengkap dan detail ada di FIZZO☆ Ini tentang Brilliana, yang harus sabar menjadi seorang wanita simpanan. Karena sebuah insiden, ia hamil anak Deon-kekasih gelapnya. Apa yang akan dilakukan Deon? Mempertahankan, atau menggugurkan? ***** "Baga...