Lorong rumah sakit menjadi saksi, bagaimana Deon merasa bersalah atas apa yang sekarang Brill alami. Berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa bukti di tangannya sama sekali tidak akurat, tapi sekali lagi ia ditampar kenyataan yang memang membenarkan keadaan.
Papa Brill meninggal dunia di dalam penjara karena meminum racun yang entah dari mana beliau dapatkan. Racun itu sendiri diketahui adalah racun mematikan yang dibuat oleh seseorang yang ahli dalam meracik. Deon pernah membaca, bahwa tidak sembarang orang dapat dengan mudah mendapatkan racun itu.
Ia mengerahkan beberapa bodyguard untuk mencari tau siapa dalang dibalik meninggalnya Papa Brill. Sementara Deon sedang menunggu penjelasan dokter yang menangani Brill sambil terus mengamati foto dan secarik kertas bertuliskan "Sudah kukatakan, kau tidak akan bahagia terlalu lama."
"Sial!" umpat Deon, meremas kuat-kuat sesuatu di tangannya. Ia kelolosan lagi dalam menjaga Brill, sampai ketika Deon mulai kesal dengan dirinya sendiri, lelaki itu memecat beberapa bodyguard yang ia rasa tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Semua orang di sekitar menjadi imbas bagaimana amarah Deon harus tersalurkan.
"Dia baik-baik saja."
Deon menoleh pada sosok Anette yang baru saja menutup pintu rawat inap Brill. Wanita itu duduk di sebelah Deon yang terlihat sangat kacau.
"Kau makan dulu sana ...."
Deon menghela napas. "Apa kata Dokter?"
"Bukaan pertama."
Seperti baru saja tersambar petir, Deon bangun dari duduknya dengan mata melebar. "Itu berarti anakku akan lahir, bodoh!"
"Ya, memang begitu, bodoh!" jawab Anette tak kalah kesal. "Tetapi waktunya masih sangat lama untuk sampai bukaan sepuluh."
"Aku harus bertemu Brill."
"Kau di sini saja!" Anette menarik lengan Deon agar lelaki itu duduk. Lalu ia menjelaskan bagaimana keadaan Brill yang sangat baik-baik saja, meski sedikit ada tangisan juga karena sang Papa meninggal dunia.
Kini Brill sedang tidur setelah kontraksinya tadi hilang. Beruntung Anette bisa meyakinkan Brill bahwa semua akan berjalan lancar jika Brill menyingkirkan beberapa hal dalam pikirannya dulu.
"Kau sudah melihat jasadnya?" tanya Anette, setelah mereka sama-sama terdiam. Berpikir, langkah apa yang akan mereka ambil setelah ini.
"Be----"
Deon tak meneruskan kalimatnya, saat pintu rawat inap Brill terbuka dan wanita yang tengah mengandung itu berdiri di depan Anette dan Deon sambil mendorong tiang infus. Terlihat pucat dengan sisa air mata di pipi yang belum mengering.
"Deon...." panggil Brill parau.
"Kau, kau mau ke mana?" Mendadak Deon tergagap. Ia segera mendekati sang kekasih lalu memeluk tubuhnya sambil sesekali mencium puncak kepala Brill.
"Aku ingin bertemu Papa."
****
Permintaan Brill memang selalu membuat Deon tak tega untuk menolak. Tapi keadaan Brill kali ini membuatnya harus berpikir dua kali untuk bisa mengambil keputusan.
Hening dan dingin.
Seperti dinding menyerap aura kesedihan Brill menjadi sebuah kekuatan. Pintu di depannya terbuka dan aura mencekam menyeruak yang sukses membuat Brill menarik napas dalam. Tangannya mengusap perut bawahnya yang tiba-tiba mengencang lagi.
"Kau yakin?"
Brill mengangguk kecil. "Sekarang saja."
Seorang petugas rumah sakit memasuki ruangan tersebut setelah Deon memberi isyarat. Kursi roda Brill didorong Deon menuju ruangan lebih dalam, melewati berderet-deret laci yang Brill yakini beberapa dari laci itu menyimpan jasad seseorang.
Ini keputusan Deon, Brill terus meyakinkan dirinya bahwa wanita itu akan baik-baik saja. Jadi, Deon memberikan izin untuk Brill melihat jasad sang Papa sebelum dimakamkan.
Bau anyir menyeruak, membuat Brill harus menahan mati-matian gejolak dalam perutnya, demi bisa bertemu Papa untuk yang terakhir kali.
"Aku akan menunggu di sana," tunjuk Deon ke sudut ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kau boleh memanggilku jika terjadi apa-apa."
Brill mengangguk kecil.
Sebuah laci ditarik oleh petugas tadi, dan Brill dapat melihat seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Papa yang sudah terbujur kaku dengan tertutup kain putih. Brill menarik napas lebih dalam, rasanya begitu sesak melihat hal semacam ini.
Meski Papa sering menyakitinya, jauh dalam lubuk hati, Brill sangat menyayangi Papa. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Tuhan harus mengambil Papa secepat ini. Padahal Brill berencana untuk membebaskan Papa dari penjara setelah anaknya lahir ke dunia.
"Pa ...." suara serak Brill terdengar sangat parau.
Dengan kaki gemetar Brill berusaha berdiri dari kursi rodanya. Sementara Deon hanya melihat dari jauh, mencoba membiarkan sang kekasih memiliki waktu untuk momen ini seorang diri.
"Pa, Brill minta maaf." Brill memeluk jasad sang Papa dengan tangis tak terbendung lagi. Tak peduli sakitnya kontraksi yang ia rasakan, Brill hanya ingin memeluk Papa lebih lama.
Tangan gemetar Brill mencoba membuka kain putih yang menutupi wajah sang Papa, lalu dengan perasaan yang lapang dan berusaha mengikhlaskan Brill mencium pipi Papanya untuk yang terakhir kali.
"Selamat jalan Pa. Suatu saat nanti, Brill berjanji akan menyusul Papa."
Brill hampir saja terhuyung ke belakang karena merasa kakinya berubah seperti jeli yang melunak, jika saja Deon tidak buru-buru menangkap tubuhnya.
"Kau berjanji akan baik-baik saja, Brill." Deon mengusap air mata Brill dan memberi pelukan pada sang kekasih yang masih terus menangis.
Berat sekali jalan yang harus mereka lalui.
Brill mengangguk. "Aku sudah selesai, Deon."
Pada akhirnya, mereka harus mengikhlaskan takdir yang tidak akan pernah bisa diubah.
****
Mohon maaf, kalau typo. Langsung update tanpa diedit :)
Happy Readingg''')
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden RelationShit!
Romance☆Versi lengkap dan detail ada di FIZZO☆ Ini tentang Brilliana, yang harus sabar menjadi seorang wanita simpanan. Karena sebuah insiden, ia hamil anak Deon-kekasih gelapnya. Apa yang akan dilakukan Deon? Mempertahankan, atau menggugurkan? ***** "Baga...