Dua orang gadis yang berbeda kerapiannya itu memasuki sebuah kelas yang terletak di bagian pojok. Yang satu membawa skeatboard yang satu berjalan biasa dengan bajunya yang rapi.
Suasana kelas yang sangat riuh itu tidak merasa terganggu dengan kedatangan dua gadis ini. Mereka memilih hanya melirik sekilas dan mulai melanjutkan aktifitas masing-masing, termasuk ghibah.
Seorang gadis yang sedang berada di kursinya itu memanggil sahabat bayinya yang baru memasuki kelas. Seorang sahabat yang berpenampilan tak layak disebut 'pelajar' tetapi akan lebih pantas jika disebut 'anak jalanan' mungkin? "Ulva!"
Ulva melambaikan tangannya sambil tersenyum sumringah. "Mil, gue ke bangku gue, ya? Lo duduk di mana?" tanya Ulva.
Kamila menunjuk sebuah kursi yang berada di pojok kiri.
Sedangkan Ulva memperhatikan pojok itu. Ada yang aneh.Kamila yang semula ingin melangkah ke mejanya pun ditahan oleh Ulva yang membuat gadis berambut panjang itu mengerutkan keningnya. "Kenapa, Va?" tanyanya bingung.
"Kenapa gue baru sadar, kalau di kelas kita ada meja kuning?"
"Ha?" beo Kamila yang tak mengerti, lantas gadis itu mengikuti arah pandang Ulva. Seketika paham apa yang dilihat gadis itu. "Itu meja Galen. Dia emang pake meja emas. Lo baru tau? Asli, lo orangnya masbod, ya?"
Ulva mengidikkan bahu. "Entah, gue emang orangnya masa bodo, atau gak pekaan, ya?" tanyanya pada Kamila. Sedangkan gadis yang ditanya itu meringis dan menggelengkan kepalanya tak yakin.
"Ya udah, gue ke bangku gue dulu." Ulva mengangguk dan membiarkan Kamila duduk di bangkunya yang hanya sendiri.
Dia duduk sendiri? Kenapa? Aduh, gue ketua kelas apaan, ya? Kok gak tau masalah beginian. Padahal murid di kelas ini ada 50 orang. Yang tandanya itu pas berdua-berdua.
Setelah mengidikkan bahu, Ulva memilih untuk ke bangkunya itu. "Hai, Mel!" sapa Ulva sembari mengeluarkan ponselnya dari saku dan menaruh skeatboard-nya di bawah meja.
Perempuan dengan rambut hitam sebahu itu hanya berdeham. Lantas bertanya. "Tugas Fisika udah?" tanya perempuan itu.
Lantas alis Ulva mengerut."Belum! Gimana dong?!" tanya sok histeris. Segera saja ia mengecek buku fisika Melda. "Eh? Yang halaman 59?" Melda mengangguk sembari menarik kembali bukunya. Ia memang belum menyelesaikan soal-soal itu. "Oh, itu. Gue belum sih."
Melda berdecak. "Gak usah sok-sok ketakutan kalau nanti lo bisa jawab. Tanpa tertulis aja lo bisa jawab, 'kan?" tanya Melda sembari memutar mata. Sedangkan Ulva hanya terkekeh. Ya, seorang Ulva yang berpenampilan seperti anak nakal itu tidak sepenuhnya nakal. Bahkan ia selalu masuk peringkat 5 besar sedari SD dulu dan Melda tahu itu. "Nah, apa gunanya punya sahabat Pinter bin Cerdas kalau gak dimanfaatin? Jadi sekarang lo bantu gue selesain ini tugas, ye?"
Ulva mendelik. "Ralat kelez. Pinter bin Cerdas binti Cerdik. Baru itu benar. Lagi pula, apa gunanya selama ini lo temenan sama orang pinter tapi gak ikutan pinter?" tanya Ulva sembari menaikan satu alisnya sambil terkekeh.
Melda mengerucutkan bibirnya. "Lo bermaksud meledek gue yang lemot ini, ya?"
Ulva lantas tertawa lepas. "Ulululu. Gak gitulah. Cepat sini gue bantu."
Melda langsung tersenyum dan meminta ajarkan soal yang tak ia mengerti sedari pagi tadi. Bahkan mampu membuatnya muntah semalam karena memikirkan nasib Fisika yang memang ia tak paham.
🌊🌊🌊
Pelajaran Fisika telah usai, berganti dengan pelajaran Kimia. Ulva yang sedari tadi hanya mengemut permen mulai tersedak dengan guru yang datang. Alisnya seketika berkerut. "Mel, Mel! Itu guru baru?!" pekiknya dengan pandangan yang tak lepas dari guru tampan di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALVA
Teen FictionUpdate | Selasa-Jumat-Minggu Cewek anti menye-menye? Di sini tempatnya! Seorang gadis yang terkenal anti meanstrim dan selalu melakukan yang jarang dilakukan perempuan membuat gadis ini mendapatkan julukan dari seorang cowok sombong, bermulut pedas...