06

183 21 12
                                    

"Kenapa sih, Zio? Ya Allah!" gereget Ulva. Gadis itu sudah pusing karena Zio terus membuntutinya. Ia membalikan tubuhnya, menatap Zio dengan tatapan jengah.

Sedangkan cowok dengan rambut ikal tebal itu tersenyum manis. "Gue mau anterin lo pulang. Boleh, 'kan?"

"Gak perlu," ujar Ulva dengan sesabar mungkin.

"Tapi gue mau, gimana dong?"

Ulva menghela napas sembari tersenyum. "Tapi gue gak mau, gimana dong?"

"Kenapa lo gak mau? Gue gak ganteng, ya?" tanya Zio dengan raut sedih.

Ulva menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Ya ampun. Kenapa usul-usul ke gantengan, sih? Kan gue bilang gue gak mau pulang sama lo, udah gitu aja. Bukan karena lo gak ganteng atau apa, tapi karena gue mau pulang sendiri sama si Edo," terang Ulva sembari menunjukkan skateboard-nya.

Zio diam menunduk.

Ya Allah, kuatkan hamba, doa Ulva dalam hati. Ia mulai merasa lelah.

Ulva memegang pundak Zio. "Denger gue, jangan pernah merasa diri lo gak ganteng, apalagi hanya karena gue gak mau pulang sama lo. Lo itu ganteng kok, baik banget lagi, apalagi lo mau nganterin gue pulang."

Zio langsung mendongak sembari tersenyum. "Jadi lo suka sama gue, 'kan?" tanyanya bersemangat.

Seketika pengen punya kekuatan halimunan, please!

"Bukan gitu juga, Zio. Kalau orang lain bilang lo baik, ganteng, pintar atau apa pun, belum tentu orang itu suka, tapi yang pasti orang itu jujur. Kalau gitu gue pulang, ya?"

Ulva pun mulai menaiki skateboard-nya. Namun sayang, baru saja mau mulai melangkah, ada yang mendorongnya dari belakang. Membuat dirinya jatuh ke aspal lapangan yang panas. Karena sekarang masih jam 1 siang.

"Va?!" Zio dengan cepat membantu Ulva berdiri. "Sakit?"

Ulva menggeleng. "Enggak, biasa aja kok." Ia mulai memeriksa lengannya, ada lecet yang berdarah. Luka itu cukup panjang.

"Lo luka, ayo ke UKS dulu." Zio menarik Ulva agar gadis itu menurutinya.

Namun, Ulva menggeleng. "Gak perlu, luka gini doang kok," tolak Ulva dengan santai. Memang nyatanya ia tak merasa begitu sakit, ia hanya merasakan panas karena aspal lapangan itu sangat panas. "Kalau gitu gue pulang, ya? Bay."

"Tapi-"

Belum sempat Zio mencegah, Ulva sudah lebih dulu berlalu dengan Edo-nya.

Gadis itu tak meringis, nampak tak merasa sakit sedikit pun.

Di lain tempat, ada dua orang yang melihatnya di tempat yang berbeda. Keduanya tersenyum. Mereka berdua jelas melihat luka itu yang bisa disebut luka parah. Karena luka itu memerah dan terus mengeluarkan darah. Namun keduanya juga melihat Ulva yang nampak biasa dan mulai membaluti lukanya dengan kain dirinya sendiri sembari menaiki kendaraan kesayangannya itu.

"She is Different."

"Gadis unik."

🌊🌊🌊

Mama
Mama pulang malam hari ini. Jangan lupa makan malam ya, Va.

Ulva yang sedang meminum susu putihnya itu termenung. Padahal setiap hari mamanya selalu pulang malam. Lantas, mengapa setiap hari terus mengabarkan pesan yang sama? Gadis itu menghela napas. Setidaknya, itu bukti bahwa mamanya sangat mengkhawatirkan dirinya.

GALVA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang