10

174 18 9
                                    

Ulva terus saja berusaha mensejajarkan langkahnya dengan cowok tampan di sampingnya ini. Sesekali ia harus melangkah lebar. Namun, tetap saja langkahnya akan kebalap dengan Galen, cowok sombong berparas tampan itu terus melangkah ke depan dengan tatapan tajam. Dirinya berusaha menghindarkan gadis berkepala batu di sampingnya.

"Galen stop!" Entah lupa atau apa, Ulva dengan berani memegang pergelangan Galen. Membuat mata cowok itu berkilat.

"Lepasin tangan lo yang jorok itu!" Tentunya dengan kesadaran penuh ia mendorong Ulva. Membuat gadis berkuncir dua itu terhuyung dan bokongnya menyium lantai tanpa elegan.

Ulva tak meringis. Ia hanya diam dengan menatap Galen. Tak lupa bibirnya terus maju beberapa centi. "Sakit tau! Kasar banget jadi cowok!"

"Lo yang buat gue kasar!" bentak Galen. Cowok itu benar-benar tak suka ditempeli oleh siapa pun. "Lo tahu gak sih, bahasa manusia?! Jelas-jelas gue udah bilang dari awal, gue gak suka didekati siapa pun, paham?!" bentak cowok itu kembali. Suara Galen yang sedang dikoridor itu cukup keras, membuat beberapa orang datang mendekat. Terlebih lagi sekarang waktu istirahat.

Galen terus menatap Ulva yang masih terdiam di lantai. "Lo satu-satunya cewek yang berani nentang gue! Padahal lo itu sama kayak mereka! Hanya cewek miskin yang bisa masuk sekolah ini karena beasiswa! Tapi tingkah lo gak ada takut-takutnya ya, sama gue! Gue udah peringatin dari awal tapi lo tetap berkepala batu! Gue gak suka bau keringat lo, paham?! Gue gak suka lihat wajah lo! Gue gak suka lihat lo yang selalu nempelin gue! Lo pikir lo siapa? Cewek bangsawan yang pantas di dekat gue?! Lo tau gue siapa? Gue itu anak satu-satunya, cucu satu-satunya dari Tuan Wiharja, paham?!"

Semua mulai berbisik-bisik. Ada yang tertawa sinis sembari melihat Ulva. Ada yang menatap iba pada Ulva. Tak sedikit juga yang menatap sinis pada Galen.

Ulva langsung berdiri dan mengibaskan rambutnya. "Oh, maaf ya, Tuan Kecil Wiharja. Gue lupa tentang lo yang gak suka didekati siapa pun. Gue lupa kalau lo gak suka dengan bau keringat. Gue lupa, kalau lo hanya cowok sombong yang terlihat berlebihan. Gue lupa akan hal itu semua." Ulva tersenyum manis. Dari cara bicaranya, tak terlihat ia sedang menyindir atau membalas. Dari cara bicaranya, ia hanya terlihat seperti orang yang meminta maaf sungguhan. "Tapi sepertinya lo juga lupa, kalau gue cewek yang suka sama lo. Yang sedang memperjuangi lo. Mungkin gue bukan satu-satunya cewek yang suka sama lo, tapi gue pastikan, kalau gue satu-satunya cewek yang sedang memperjuangkan lo. Karena hal itu, gue terlupa akan semua hal yang lo benci. Tapi lo harus ingat, gue lupa itu karena lo." Ulva mengedipkan sebelah matanya.

Suara riuh gombalan serta siulan mulai terdengar. Banyak yang menggoda Galen. Mereka semua merasa takjub karena Ulva berani membalas tanpa terlihat menjatuhkan dirinya. Mereka akui, hanya Ulva yang berani berterus terang pada cowok itu.

Sedangkan kepala Galen sudah panas tak tertolong. Ia benar-benar tak habis pikir dengan sifat Ulva. Bagaiamana bisa gadis yang sudah dipojokkan di depan banyak orang masih bisa membalas? Bahkan Galen benar-benar greget karena sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan cewek itu kalau dia gak suka didekati siapa pun.

"Sekarang, apakah Tuan Galen mau menerima si gadis berwajah Miku ini?" Ulva bertanya sembari tersenyum lebar. Bahkan cewek-cewek pun mengakui kecantikan Ulva yang tak tertolong. Benar-benar mirip anime yang bernama Miku itu.

"Argh!" Galen menggaruk rambutnya frustasi. Ia langsung segera pergi sebelum kepalanya benar-benar meledak.

🌊🌊🌊

"Ulva?"

Ulva yang merasa dirinya dipanggil pun menoleh. Ia melihat Papang yang berdiri di samping Melda. Sedangkan mata Melda hanya berfokus pada layar ponselnya.

GALVA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang