8. Mama.

19K 1.4K 5
                                    

Vote dan Komen.

Sekarang Serla dan Dian sedang dalam perjalanan menuju alamat rumah calon majikan Serla. Kemarin Bibinya Dian sudah menyuruh Serla untuk mulai bekerja pagi ini, tentu hal ini membuat gadis itu senang, karena jika sudah mulai bekerja, maka penerimaan gaji terbilang sebentar lagi. Perjalanan menempuh waktu kurang lebih setengah jam. Motor matic itu memasuki sebuah perumahan elit dan tampak sangat indah karena banyak pepohonan dan juga bunga pangkas di sekitar jalan.
Tentu sangat jauh berbeda dengan kostan tempat tinggal adinya itu, di sekita ini banyak pohon dan tentu tidak dominan polusi udara.

Motor itu berhenti di sebuah rumah berpagar putih. Bukan rumah sebenarnya bisa di sebut dengan sebuah massion, karena bangunannya bak istana dengan dekorasi ke ala eropa. Seorang satpam mengkangetkan mereka karena tiba-tiba saja muncul.

"Astaga pak!" pekik keduanya bersamaan.

Pria paruh baya dengan seragam security itu melototi Serla dan juga Dian. "Anak zaman sekarang bukannya salam dulu langsung teriak aja," sindir pak satpam itu.

"Maaf pak, maaf." Dian dan Serla menyengir kuda di sana.

"Selamat siang pak," sapa Serla ramah.

"Siang Neng. Kenapa ada yang bisa saya bantu?" satpam itu memberi senyuman lebar kepada kedua gadis itu. Ciri-ciri orang baik dan sopan seperti ini enak di ajak ngobrol. 

"Gini pak, ini saya mau ketemu sama bibi Enim."

"Oh Enim atuh, bentar yah bapak panggilin." satpam itu menutup kembali pagar itu dan tubuh pak satpam hilang di balik dinding pagar.

"Ser," bisik Dian.

"Apa?" Serla menoleh kepada Dian.

"Lo harus bisa jaga mata, jaga hati," ucap Dian terkesan lebay.

"Kenapa emang? Aneh banget." Serla tersenyum geli kepada Dian.

"Bibi gue bilang kalau pemilik rumah ini, orangnya ganteng, terus yah sering masuk TV. Tapi sayangnya gue belum pernah lihat," ucap Dian mendengus dan tersenyum paksa.

"Kalau mau ketemu yah udah daftar jadi pembantunya aja," ujar Serla dengan semangat, siapa yang tidak mau satu pekerjaan dengan orang seperti Dian, gadis humoris dan barbar.

Dian menggelengkan kepalanya dan memberi tatapan galak kepada Serla. "Eih, sembarangan. Gue ini udah kuliah jadi ngapain juga gue jadi pembantu. Sayang dong uang bokap nyekolahin gue. Dan yah, kalau orangtua gue tau, bisa di sate gue," ucap Dian.

Serla tertawa geli saat menerima balasan dari Dian yang tidak terima dengan pendapat Serla. Memang benar apa yang di ucapkan gadis itu, untuk apa jadi pekerja ART sepertinya jika sudah S1? Lebih baik kerja kantoran bisa mendapat pengalaman kerja dan pendidikan.

Tak lama seorang wanita paruh baya dengan pakaian khusus pelayan datang menemui mereka. Dian yang melihat bibinya langsung menyapa sang wanita paruh baya itu.

"Hallo Bi."

Bukannya balas menyapa Dian, wanita paruh baya itu malah menghampiri Serla dan mengamati gadis itu. Dian yang tidak dianggap berdecak kesal.

"Jadi kamu yang namanya Serla?"

Serla mengangguk dan menyalam Enim_bibi Dian. "Iya Bu, saya Serla," ucap Serla sopan.

"Masih muda, cantik lagi. Ngapain mau jadi kayak saya? Kalau gini mah, kayak jadi majikan saya kamu nak." goda Enim.

Serla tertawa dan menggeleng dengan cepat. "Ibu ini bisa aja."

"Tapi bu, saya lagi butuh pekerjaan ini. Lagian saya butuh uang," ucap Serla memelas.

"Yah udah kalau kamu butuh banget, ayo ikut saya ke dalam."

My Sweet Duda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang